Rabu, 20 Juni 2012

0 tesis gambar diri seorang tunanetra

Tunanetra adalah bagian masyarakat yang tidak bisa dipisahkan dari lingkungannya. Mengapa demikian? Alkitab mengajarkan baheub, agar gereja ikut serta memberikan ruang di dalam tesis yang telah dibuat. Didalamnya termaktwa mereka adalah bagian dari penyataan karya Tuhan, hal tersebut dapat kita lihat perbincangan Yesus dengan para murif (Yoh. 9:3) yang menyebutkan bahwa melalui kebutaan yang dialami seseorang juga penyataan kerajaan Allah. Dalam hal inilah saya sebagai hamba Tuhan tunanetra tergerak membahas masalah ini dan telah dituangkan dalam tulisan ilmiah (tesis). Dalam hal itu diharapkan gereja dapat memberikan kontribusi dalam mengangkat martabat para penyandang tunanetra sehingga mereka dimanusiakan. untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tulisan tesis yang sudah saya tulis.


GAMBAR DIRI SEORANG TUNANETRA

BAB I
PENDAHULUAN


I.A.   LATAR BELAKANG MASALAH

Mata merupakan jendela bagi manusia. Melalui mata semua orang mampu menguasai alam sekitarnya serta menikmati pemandangan dan keindahan dunia, tetapi menyedihkan bila disekitar kita terdapat manusia (yakni tunanetra) yang tidak dapat merasakan keindahan itu.
Orang tunanetra 80% telah kehilangan sumber informasi dan yang tersisa 20% yaitu pendengaran serta perabaan. Untuk dapat maksimal 20% tersebut harus dioptimalkan hingga mendekati normal. Namun bila seseorang mengalami ketunanetraan dan tidak dapat lagi disembuhkan, bukan berarti, akhir dari hidup, tetap berpikir positif karena dibalik derita terdapat makna hidup yang harus digali dengan baik pula.
Tunanetra adalah orang yang tidak dapat melihat atau orang yang lemah secara penglihatan. Mereka yang menyandang cacat tunanetra bisa disebabkan oleh banyak faktor. Dampak dari ketunanetraan tersebut telah memunculkan paradigma negatif dalam diri tunanetra serta memberikan penilaian yang buruk dari masyarakat kepada tunanetra. Penilaian itu terjadi karena masyarakat hanya melihat dari sisi kecacatan bukan dari sisi kemanusiaan secara utuh. Dalam arti yang luas, ketunanetraan itu telah memberi pengaruh yang kuat dan akhirnya membentuk konsep diri yang salah. Dalam keadaan yang demikian, penyandang cacat tunanetra menjadi diskriminasi dalam dirinya juga dalam lingkungan sekitar.
Sekalipun fisik mereka tunanetra, tetapi perlu dipahami dan diyakini bahwa mereka adalah ciptaan Allah, bila penilaian hanya didasarkan pada apa yang dilihat mata secara lahiriah maka penilaian tersebut didalamnya terdapat ketidakserasian dengan hakekat kemanusiaan dimuka bumi ini. Hal inilah yang mempengaruhi penulis dalam rangka tesis tersebut.
Masalah yang dihadapi penyandang cacat tunanetra ialah mereka menjadi asing dari hidup sosial masyarakat karena ketunanetraan yang disandang. Mereka terbatas berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, terbatas pada fungsi kemampuan di tengah-tengah masyarakat, rohani, jiwa dan batin mereka menjadi  menderita.
Dampak dari ketunanetraan adalah mereka sulit mendapatkan pendidikan, pekerjaan, memperoleh kedudukan, dan sulit mengembangkan karier yang sesuai dengan talentanya. Sebagai penyandang tunanetra, hati, perasaan dan rasional mereka masih berfungsi dengan normal. Menghasilkan sesuatu dengan indera yang lain. Hal tersebut menjadi acuan untuk  memperdayakan tunanetra dalam hidupnya.[1]  
Pada umumnya masyarakat memandang tunanetra cenderung negatif hanya melihat pada keterbatasan sebagai penyandang tunanetra, bukan dari kemanusiaan. Keluarga dan masyarakat menganggap kehadiran tunanetra menjadi beban, akhirnya mereka diabaikan dan mereka hanya dikasihani. Selain itu, keluarga dan orangtua cenderung kurang perduli terhadap kebutuhan dan masa depan penyandang tunanetra. Karena anak yang dilahirkan di luar harapan keluarga, sebaliknya keluarga dan orangtua dapat bersikap berlebihan dengan menaruh belas kasihan, karena mereka beranggapan bahwa ketunanetraan yang disandang disebabkan kesalahan orangtua. Prasangka tersebut memberi dampak negatif seperti rasa malu terhadap sesama dan penyandang tunanetra dikurung dan tidak mendapat kesempatan melakukan sesuatu yang positif. Akibatnya mereka terisolasi, hidup menyendiri, kesepian, melamun dan berputusasa. Oleh sebab itu sikap keluarga dan orangtua merupakan faktor penting dalam pertumbuhan seorang tunanetra.
Tidak berfungsinya penglihatan bagi tunanetra akan memisahkan tunanetra dengan dunia sekitar serta dunia sosialnya, mereka tidak mampu memperoleh kejelasan terhadap situasi lingkungan dan ini menjadi sumber kesulitan dikemudian hari. Kesedihan, keputusasaan, tidak berdaya, lemah, dan selalu berganung pada orang lain menjadi beban bagi batin mereka. [2] Keadaan tunanetra tersebut cenderung akan menolak dirinya sendiri serta tidak memberi dorongan untuk pengembangan diri, tidak percaya diri, menyendiri, terpisah dari hubungan sosial. Gejala demikian akan memberi pengaruh yang menjurus terbentuknya kebiasaan yang tidak baik. Bagi penyandang tunanetra sulit baginya untuk berpacaran dan membina hubungan sampai jenjang pernikahan dengan orang yang normal.[3]
Pada  umumnya masalah penyandang tunanetra adalah mereka perlu penghidupan yang layak. Mereka perlu dihargai, yaitu ingin diperlakukan dengan baik seperti manusia di dalam kemanusiaannya, tetapi keinginan tersebut terhambat. Akibatnya penyandang tunanetra kecewa, frustasi dan rendah diri.[4]  

Ada tiga reaksi tunanetra pada saat kecacatan itu disadari menjadi penghambat dalam hidup:
  1. Mengalami depresi yang diikuti kemarahan, kecewa, kedengkian, serta permusuhan terhadap diri sendiri.
  2. Adanya sikap menyangkal dan menerima sebagai ekspresi emosi yang mencerminkan pergumulan yang selalu diakhiri dengan penyerahan diri.
  3. Menolak atau menerima belas kasihan, pada pase ini penderita mulai menerima kenyataan yang sesungguhnya.
Dari beberapa masalah yang diatas adalah timbul dari diri penyandang tunanetra serta keluarga, orangtua serta masyarakat, tanpa menyadari bahwa keberadaannya sebagai manusia adalah ciptaan Allah yang mempunyai derajat dan martabat yang sama. Perlu disadari bahwa di dalam setiap orang terdapat hakekat citra Allah yaitu gambar dan rupa Allah. Oleh sebab itu manusia yang cacat jasmani sejak lahir maupun yang kemudian atau yang cacat mental ( idiot, gila ) adalah tetap manusia gambar Allah yang juga merupakan bagian dari rencana Allah dan Ia berhak mutlak atas gambarNya itu. Maka segala bentuk diskriminasi terhadap orang cacat tentu sangatlah menyakitkan hati  Tuhan sebagai  pencipta karena perbuatan itu berarti merusak gambar dan rupa Allah. Tubuh manusia dengan segala keberadaan dan keterbatasannya tidak dianggap sebagai penghalang hubungannya dengan Allah, hubungan manusia dengan sesama, dan manusia dengan alam sekitar.[5]  
Dalam rangka rencana Tuhan Allah yang demikian, maka perlu dinyatakan kepada penyandang tunanetra, kepada lembaga gereja serta lembaga sosial lainnya untuk dapat melihat citra Allah dalam setiap manusia baik cacat atau sehat, miskin atau kaya dan lain sebagainya, senantiasa bisa menjadi pendulang kehidupan kearah yang lebih baik. Dalam hal inilah tesis ini penulis buat, menggali gambar diri tunanetra yang sesungguhnya menurut kebenaran Firman Allah.

I.B. FOKUS MASALAH
Secara umum masalah penyandang catat tunanetra adalah berkaitan dengan keinginan untuk mempunyai kehidupan yang layak; ingin dihargai dan diperlakukan seperti orang normal. Tetapi keinginan ini terhambat, sehingga mengakibatkan penyandang cacat tunanetra kecewa, frustrasi dan rendah diri.[6] 
Umumnya masyarakat sering memandang penyandang cacat tunanetra dari sudut pandang negatif, tidak dapat melakukan apa-apa dan hanya bisa bergantung kepada orang lain. Sehingga keberadaan mereka tidak dipandang secara utuh baik di tengah masyarakat dan juga dalam komunitas Gereja.
Dari sudut pandang Alkitab setiap orang tanpa terkecuali (termasuk tunanetra) adalah gambar dan citra Allah. Maka segala kekurangan yang terdapat dalam diri manusia (seperti tunanetra), bukanlah penghalang bagi mereka untuk menjadi gambar dan citra Allah yang seutuhnya. Gereja seharusnya menerapkan konsep Alkitab ini dalam memandang manusia sebagai gambar dan citra Allah : baik cacat atau sehat, miskin atau kaya, sama-sama dapat menjadi penatalayan di bumi untuk mendukung kehidupan menjadi lebih baik. 
Fokus masalah dalam penulisan ini adalah bagaimana konsep diri seorang penyandang tunanetra dari dua perspektif. Pertama, apa pendapat Alkitab tentang gambar diri seorang penyandang tunanetra dan bagaimana Alkitab memperlakukan tunanetra? Kedua, Bagaimana seharusnya gereja memandang tunanetra. Dari kedua pandangan tersebut, maka yang perlu dipikirkan adalah bagaimana memberdayakan tunanetra menjadi maksimal dalam pelayanan gereja.

I.C. TUJUAN PENULISAN
Tesis ini bertujuan untuk menegaskan bahwa:
1.      Penyandang cacat tunanetra adalah gambar dan rupa Allah yang memiliki kesamaan derajat dan martabat sebagai ciptaan Allah. Sebagai gambar dan rupa Allah, penyandang tunanetra juga dikaruniakan kemampuan untuk berkarya di dalam hidupnya.
2.      Tulisan ini memberi motivasi kepada lembaga gereja, lembaga sosial untuk mau berpartisipasi dan memperjuangkan harkat dan martabat penyandang cacat tunanetra sebagai ciptaan Allah.
3.      Dengan demikian para penyandang cacat tunanetra dibangun diatas dasar rencana agung Allah yang menghendaki manusia agar dapat serupa dan segambar dengan Dia. Oleh sebab itu penyandang tunanetra perlu mendapatkan prinsip-prinsip yang kuat dan tepat untuk pengembangan diri penyandang tunanetra sehingga dapat maksimal dalam pekerjaan yang ditekuni ditengah-tengah masyarakat. Untuk itu penyandang tunanetra jangan takut ditolak, takut tidak dihargai dalam pembangunan gambar dirinya.   

I.D. MANFAAT PENULISAN
Tulisan tesis ini dapat berguna bagi penyandang cacat tunanetra, keluarga dan masyarakat, lembaga gereja dan lembaga sosial lainnya, yaitu mampu melihat masalah yang dialami tunanetra dan dapat melihat segala potensi yang cerdas dari penyandang tunanetra. Sehingga penyandang tunanetra tidak lagi dipandang sebagai obyek penderita, tetapi sebagai subyek, seperti manusia normal lainnya yang mampu berkarya.
Tesis ini juga diharapkan mampu merubah paradigma masyarakat terhadap tunanetra, dimana mereka sebagai tunanetra tidak lagi dipandang sebagai beban tetapi memberi perhatian. Selain itu masyarakat memperoleh makna penderitaan sebagaimana Yesus memandang seorang tunanetra sejak lahir.

I.E. METODE PENULISAN
Di dalam data yang diperoleh tentang ketunanetraan lebih banyak menyoroti mengenai keterbatasan dan kesulitan serta akibat-akibat yang ditimbulkan ketunanetraan. Dalam penulisan tesis ini mengadakan penelitian lapangan serta ditambahkan beberapa literatur yang membahas ketunanetraan serta sumber informasi lainnya yang mendukung tesis ini. Wawancara dilakukan kepada lima keluarga tunanetra yang bergabung didalam Yayasan Persekutuan Doa Pelangi Kasih yang berdomisili di Pulau Gebang Permai Jakarta Utara. Kelima keluarga tersebut adalah yang telah hidup mandiri tanpa bergantung kepada lembaga sosial yang ada.

I.F. BATASAN MASALAH
Pembahasan tentang ketunanetraan sangat luas, tetapi tulisan ini hanya terbatas pada gambar diri tunanetra dan peran gereja dalam mengangkat harkat dan martabat penyandang Tunanetra sehingga gambar diri mereka dipulihkan dalam terang Firman Tuhan.

I.G. KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka pemikiran yang tertuang dalam tulisan ini adalah, ada dua cara pandang yang berbeda terhadap tunanetra. Cara pandang tersebut ialah:
  1. Keluarga dan masyarakat cenderung memandang tunanetra dari perspektif kecacatan serta keterbatasan sebagai akibat dan cukup dibelaskasihani.
  2. Sedangkan Yesus memandang ketunanetraan dari sudut pandang dalam rencana Allah (Yoh.9:3), sebuah paradigma yang membangun motivasi terhadap tunanetra maupun kepada masyarakat umum (manusia normal).

Dua dasar pandangan  di atas menjadi acuan dalam penulisan berikutnya.




I.H. SISTEMATIKA PENULISAN :

BAB I : PENDAHULUAN
I.A. Latar Belakang
I.B. Fokus Masalah
I.C. Tujuan Penulisan
I.D. Manfaat Penulisan
I.E. Kerangka Pemikiran
I.F. Metode Penelitian
I.G. Batasan Masalah
I.H. Sistimatika Penulisan
           
BAB II : HAKEKAT KETUNANETRAAN, GAMBAR DIRI DAN FAKTOR YANG    MEMPENGARUHI PEMBENTUKANNYA
II.A. HAKEKAT KETUNANETRAAN
II.A.1. Hakekat Gambar Diri, Sebuah Defenisi Umum
II.A.2. Gambar Diri Tunanetra Sebagai Hakekat Penderitaan
II.B. KONSEP GAMBAR  DIRI TUNANETRA PERSPEKTIF ALKITAB
II.B.1. Gambar Diri Tunanetra Dalam Penciptaan  
II.B.2. Gambar Diri Tunanetra Dalam   Dosa.
II.B.3. Gambar Diri Tunanetra Dalam   Anugerah Allah
II.B.4. Gambar Diri yang Diperbaharui Serta Beberapa Konsep Pelayanan yang   dilakukan Tunanetra
II.C. GAMBAR DIRI TUNANETRA PERSPEKTIF MASA KINI
II.C.1.  Perspektif dalam Masyarakat
II.C.2. Perspektif dalam  Tunanetra
II. C.3. Perspektif dalam Kemajuan Teknologi Masa Kini

BAB III : GAMBAR DIRI TUNANETRA DI YAYASAN PERSEKUTUAN PELANGI KASIH DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA
III.A. Latar Belakang, Sikap Tunanetra Memandang Ketunanetraan Sebagai Kekuatan dan Kelemahan .
III.A.1. Sekilas latar belakang penyandang  tunanetra di  Persekutuan Doa Pelangi Kasih.
III.A.2. Sikap  tunanetra  terhadap ketunanetraan  yang  di sandang.                  
III.A.3. Kelemahan, kekuatan dan beberapa dukungan dalam hidup tunanetra
III.B. Potensi dan Kompotensi Tunanetra
III..B.1. Potensi dan kompotensi tunanetra dipersekutuan doa pelangi kasih
(i). Profesi sebagai Massage (tukang pijat)
(ii). Usaha Panti Pijat
(iii). Usaha Koperasi
(iv). Professi sebagai Pemusik
(v). Profesi sebagai Hamba Tuhan
(vi). Profesi sebagai Karyawan
III.B.2. Aktualisasi Diri Tunanetra di Pesekutuan Doa Pelangi Kasih di Pulau Gebang Permai Jakarta Utara
(i). Kegiatan Ibadah Bersama
(ii). Mengadakan Seminar
(iii). Melalui Media Elektronik dan Media Cetak
(iv). Melalui Rekaman Lagu-lagu Rohani
(v). Melalui Pekabaran Injil
III.C. Pengalaman Interpersonal Tunanetra di Persekutuan Doa  Pelangi kasih
III.C.1. Beberapa faktor yang Mempengaruhi Kwalitas Interpersonal Individu
III.C.2.  Karakteristik Tunanetra dalam Persepsi Interpersonal
              III.C.3. Ciri-ciri Gambar Diri Positif
III.D. Peran Pendidikan Mempengaruhi Gambar Diri Tunanetra
III.E. Peran Sesama Tunanetra dalam Mempengaruhi Gambar Diri
        Tunanetra
III.F. Peran Serta Firman Tuhan yang Mengubah Gambar Diri Tunanetra

BAB IV. PRINSIP STRATEGIS PEMBENTUKAN GAMBAR DIRI YANG  POSITIF  BAGI TUNANETRA
IV.A. Strategis Pembentukan Gambar Diri Positif
   IV.A1. Konsep Strategis Menurut Kebenaran Alkitab
IV.A.2. Orientasi dan Mobilitas
IV.B. Tugas Gereja Menolong Kaum Tunanetra Membangun Dirinya (Yoh. 9:3)
IV.B.1. Gereja Sebagai Sarana Pengembangan Gambar Diri Tunanetra
IV.B.2. Paradigma Gereja berdasarkan pada solidaritas Yesus yang perduli terhadap kaum tunanetra  
IV.C. Peran Gereja dalam Mengintegrasikan Pelayanan Kaum Tunanetra di tengah Masyarakat
                          IV.C.1. Sikap Gereja dalam Tindakan Kongrit terhadap Tunanetra
  IV.C.2. Penyandang Tunanetra Mitra Gereja dalam Misi Yesus
                          IV.C.3. Kehadiran Tunanetra dalam Tugas dan Fungsi Gereja
IV.D. Prisnsip-prinsip Strategis dalam Membangun Citra Diri Tunanetra
IV.D.1. Pengaruh Negatif Panti Penampungan bagi Tunanetra dan Keluarga
IV.D.2. Sikap Diskriminasi Terhadap Penyandang Tunanetra
                 IV.E. Lembaga Pendidkan Sebagai Sarana Menuju Kemandirian Tunanetra 
IV.E.1.Tujuan Pendidikan Bagi Tunanetra
IV.E.2. Tiga Lembaga Penting Bagi Pengembangan Tunanetra
(i). Lembaga Gereja
(ii). Lembaga Keluarga
(iii). Lembaga Pendidikan Formal dan Non Formal
IV.F. Pelayanan Konseling Kepada Keluarga yang Memiliki Anggota Tunanetra
IV.G.Pembentukan Konselor Tunanetra terhadap Penyandang Tunanetra Sehingga Lebih Akurat
IV.G.1. Fungsi Konseling Konselor Tunanetra Terhadap Tunanetra lainnya
IV.G.2. Konsep Peer Counseling For The Bline dan kelebihannya
IV.H. Penyandang Tunanetra Bukan Objek tapi Subjek
IV.H.1. Pekerjaan Allah dinyatakan Dalam Diri Tunanetra
IV.H.2. Iman yang Hidup Yesus bertindak
IV.I. KETUNANETRAAN ADALAH ALAT PENYATAAN KUASA ALLAH
IV.I.1. Ketunanetraan alat yang berharga bagi Kuasa Allah
IV.I.2. Allah Mengerti akan Penderitaan Manusia
IV.I.3. Janji Kekuatan Tuhan Dalam Penderitaan
IV.I.4. Kekuatan Dalam Ketunanetraan Sekalipun Ditolak   

BAB V KESIMPULAN 

KEPUSTAKAAN
BAB II

HAKEKAT KETUNANETRAAN, GAMBAR DIRI
DAN  FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMBENTUKANNYA

            Pada hakekatnya ketunanetraan yang dialami individu pada dasarnya adalah penyimpangan yang signifikan dari kondisi normal yaitu kehilangan fungsi penglihatan. Dengan tidak berfungsinya penglihatan tersebut berdampak luar biasa dalam menjalani kehidupan individu tunanetra. Sepintas lalu gambar diri tercermin dalam keadaan tersebut, dan pengaruh cenderung dari beberapa komponen yang satu dengan yang lain memberikan interaksi dan pengaruh.

II.A. Hakekat Ketunanetraan
Sebagaimana yang dituliskan diatas, bahwa ketunanetraan itu adalah penyimpangan yang signifikan dari kondisi normal pada individu yang mempengaruhi interaksinya terhadap lingkungan sekitar. Pada hal interaksi tersebut menjadi fondasi hidup di dalam dinamika kehidupan seorang tunanetra. Dan inilah yang justru sering ditonjolkan dari ketunanetraan, sebagai titik kelemahan dalam tatanan hidup sosialnya. Sedangkan filsafat modern memandang perkembangan manusia sebagai suatu proses yang terus berkelanjutan yang melibatkan interaksi antara struktur biologis seorang individu dan lingkungannya. Ini berarti, isi, arah, kecepatan, dan hasil perkembangan individu merupakan produk interaksi yang kopleks antara “nature” dan “nurture”. Defesiensi Intelektual, emosional, social, sensoris, dan fisik bukan semata-mata akibat struktur biologis yang efektif, tetapi merupakan produk interaksi antara karakteristik struktur biologis dan variable lingkungan. Dalam hal ini tunanetra kehilangan salah satu fungsi indera,sehingga kemandirian individu menjadi terganggu. Dalam hal inilah mereka terus mencari dan berjuang akan hakekat yang ditimbulkan ketunanetraan, serta menata citra diri yang positif dengan berbagai faktor yang mempengaruhi.
            Sikap negatif masyarakat terhadap ketunanetraan, sebagai salah satu variable lingkungan sosial, tampaknya merupakan faktor utama penghambat perkembangan tunanetra. Hal ini tercermin dari hasil pengamatan Helen Keller (yang adalah seorang tunanetra dan tunarungu tetapi selalu menampilkan yang terbaik dalam segala yang dikerjakannya) bahwa pada diri individu tunanetra bukan ketunanetraannya itu sendiri yang merupakan penghambat utama perkembangannya, melainkan justru sikap orang awas (normal) terhadap mereka yang tunanetra.
            Dalam beberapa catatan tersebut bahwa dalam pengembangan citra diri tunanetra dipengaruhi oleh tiga hal yang selalu bersentuhan setiap waktu yaitu: komponen individu, komponen lingkungan fisik, komponen lingkungan sosial dimana satu dengan yang lain saling berinteraksi dan saling memberi pengaruh. Keterkaitan interaksi komponen diatas dapat memakai personal tunanetra dari perilaku bagi kehidupan pada masa kini dan masa yang akan datang
.
II.A.1. Hakekat Gambar Diri: Sebuah Defenisi Umum
            Gambar diri merupakan unsurs penting untuk menunjukkan siapa diri seorang individu sebenarnya.Gambar diri juga merupakan konsep individu dan gambar diri seseorang terbentuk dari perjalanan pengalaman masa lalu, keberhasilan, kegagalan, pengetahuan yang dimiliki, serta bagaimana orang lain memberi penilaian terhadap individu secara objektif. Oleh sebab itu kita sering melihat diri kita seperti orang lain melihat kita.
            Gambar diri sangat dipengaruhi oleh performa kita sendiri. Sementara gambar diri mempengaruhi perilaku dan perilaku mempengaruhi performa. Gambar diri positif seseorang akan membuat dirinya berharga dimata orang lain. Orang yang memiliki gambar diri positif akan mudah mencapai tujuan yang diinginkan, simpati orang lain selalu tertuju padanya. Sebaliknya gambar diri yang lemah akan berakibat pada harga diri yang lemah pula, orang yang demikian akan merasa dirinya tak berguna dalam hidup.
            Gambar diri dapat pula diartikan penilaian seseorang terhadap  diri indifidu sendiri. Hal tersebut sangatlah penting bagi diri indifidu tentang bagaimana menilai diri sendiri, dibandingkan penilaian orang lain terhadap diri indifidu. Kehidupan indifidu sangat tergantung kepada potret diri kita, tetapi penilaian orang lain juga sangat penting untuk terus melihat diri kita, sebab dari sekian banyak penilaian yang ditujukan terhadap kita bukanlah semua negatif, dan meskipun penilaian yang diarahkan terhadap kita negatif akan menjadi positif ketika kita mampu memberikan restorasi yang bisa menorehkan nilai yang lebih aktual.
            Gambar diri indifidu merupakan hubungan pribadi dengan diri sendiri yang akan mempengaruhi segala tingkah laku dalam arti membina suatu hubungan sosial yang sehat, juga dapat disejajarkan dengan membangun sebuah bangunan dengan fondasi yang kokoh dari gambar diri pribadi yang benar dan tanpa dasar yang kuat maka setiap hubungan akan berakibat fatal. Apabila indifidu mempunyai pikiran yang positif pada diri sendiri juga akan berpikir positif terhadap orang lain dan menerima orang tersebut dengan segala keberadaan masing-masing. Sebaliknya orang yang merasa dirinya rendah maka akan sulit untuk menghargai, memuji orang lain karena orang tersebut masih membutuhkan pujian dan penghargaan dalam hubungan dengan sesama manusia.[7]
            Dalam kitab Amsal 23:7 pengertian gambar diri disebutkan demikian: “sebab seperti orang yang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia.” Kalau orang meyakini, percaya, dan berpikir terus menerus bahwa dirinya bodoh, jelek, tidak menarik, orang yang gagal, orang yang tidak berdaya dan tidak berguna serta tertolak, maka itulah dirinya sepanjang hidup. Ia akan menderita kesakitan, minder, merasa kecewa, dan tidak berharga. Sebaliknya bila seseorang meyakini dan mempercayai bahwa dirinya berharga, pintar, banyak orang yang mencintainya, maka itulah juga gambar dirinya sendiri. Dengan kata lain, apa yang diyakini serta diimani terhadap dirinya, itu juga yang akan terjadi dalam hidupnya.[8]
            Dari defenisi gambar diri tersebut diatas maka, gambar diri penyandang tunanetra dapat dilihat pada dua faktor yang meliputi:
  1. Bagaimana penyandang tunanetra dapat mampu memahami diri sendiri terhadap keberadaannya secara aktif dan luas sehingga dengan penilaian terhadap ketunanetraan yang disandang akan sanggup menggeser nilai hidup yang bermakna dalam  hidupnya. Untuk dapat memahami diri dengan baik dan lebih maksimal diperlukan alat bantu yang di dapatkan dari komponen yang ada disekitar seperti komponen indifidu, komponen lingkungan fisik, dan komponen sosial. Gambar diri yang dimaksudkan bukan dilihat pada keadaan fisik tetapi pada bagian kwalitas rasio, kwalitas moral dan kwalitas spiritual.
  2. Dengan kemampuan mengelolah bagian-bagian tersebut (beberapa kwalitas yang disebutkan) dan dengan hasil yang baik akan merubah paradigma yang salah terhadap penyandang tunanetra, karena keluarga serta masyarakat melihat bukan lagi pada keadaan fisik tetapi pada kemampuan mental, interaksi, dan hasil citra diri yang dihasilkan.
Untuk gambar diri penyandang tunanetra perlu membentuk gagasan positif mengenai kepribadian tunanetra, agar bisa mengembangkan diri lebih baik dan sehubungan dengan itu diperlukan sebuah penilaian dasar yang mendasari penilaiannya. Alkitab adalah dasar yang tepat dan utama dalam penilaian tersebut, karena sangat kaya dengan pandangan-pandangan positif yang dapat menolong.
            Rasul Petrus dalam suratnya menyebutkan: “tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib, kamu yang dahulu bukan umat Allah, tetapi yang sekarang telah menjadi umat-Nya, yang dahulu tidak dikasihani tetapi yang sekarang telah beroleh belas kasihan” (I Petrus 2:9-10). Ungkapan ini merupakanh pandangan yang membangun gambar diri positif penyandang tunanetra juga  manusia normal.
            Ketunanetraan dapat dipandang sebagai penderitaan yang memberi makna positif. Dalam hal ini manusia perlu  mencari nilai hidup yang penuh makna pada setiap kondisi dan keadaan apapun baik permanen dan non permanen, permanen yang dimaksudkan adalah seperti ketunanetraan yang tidak dapat lagi disembuhkan dan akan disandang selama hidupnya.
            Bagi penyandang tunanetra pada saat mereka dimampukan menerima serta sangggup menginvestasikan tiga kwalitas yang ada dalam dirinya, dengan luar biasa akan dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang besar dalam keberadaannya di dunia ini. Suatu perbutan yang lebih bermakna bila dalam keterbatasan bisa menghasilkan yang lebih besar. Siapa saja akan menjadi saluran kuasa Allah dalam berkat ketika kemauan ada padanya. Demikian pun penyandang tunanetra bisa menjadi saluran berkat bagi banyak orang jika sumber daya yang dimiliki dapat dinikmati oleh orang lain. Contoh kongkrit bagi penulis adalah: Fanny Chrosby, seorang penyandang tunanetra yang telah melayani banyak orang serta memuliakan Tuhan dengan lagu-lagu rohani yang telah diciptakan, dan ternyata lagu-lagu ciptaannya banyak dinyanyikan masyarakat dunia dalam ibadah kepada Tuhan, Fanny Chrosby telah menjadi saluran kasih Allah terhadap banyak orang, menjadi motivator juga terhadap tunanetra yang senang mencipta lagu-lagu serta music dan masih banyak contoh-contoh lain.

II.A.2. Gambar Diri Tunanetra Sebagai Hakekat Penderitaan sebagai saluran Kuasa Allah
Berbicara tentang penyandang tunanetra dan ketunanetraan, sekilas yang tergambar dalam pikiran serta hati kita adalah sebuah penderitaan. Mereka menderita karena tidak dapat melihat serta menikmati keindahan dunia. Bila kita bertemu dengan penyandang tunanetra sepintas lalu yang ada dalam benak kita adalah sejuta kesulitan yang terdapat dalam diri penyandang tunanetra tersebut. Lebih jauh bila kita bertanya kepada mereka tentang apa yang ada dalam perasaan, hati serta pikirannya tentu saja penyandang tunanetra itu pun tidak dapat menceritakan dengan baik sebab terlalu banyak perasaan yang diungkapkan. Bila kita bertanya, apakah menjadi tunanetra merupakan pilihan? Jawaban yang pasti adalah tidak! Karena tidak seorangpun manusia yang mau menjadi tunanetra.
Jika kita mendalami akan gejolak dalam batin, maka sesungguhnya gambar diri mereka adalah sebuah penderitaan yang terpatri sedemikian rupa dalam hidup karena ketunanetraan itu akan disandang seumur hidup, sebuah “gelar” yang belum tentu semua orang dapat menyandangnya. Yang perlu dipahami adalah apa arti serta makna yang terkandung dalam penderitaan sehingga dapat mengerti bahwa penderitaan merupakan salah satu alat yang Allah pergunakan untuk membuat kita lebih peka dan mencapai tujuan-Nya dalam kehidupan kita. Penderitaan dirancang untuk membangun kepercayaan/ketergantungan sepenuhnya terhadap Allah, oleh sebab itu penderitaan menuntut suatu respon yang benar supaya dapat berhasil untuk menyelesaikan maksud Tuhan dalam hakekat yang sesungguhnya. Memang penderitaan itu bukan suatu kebaikan, bukan juga tanda-tanda kehidupan yang suci, bukan pula cara memperoleh sesuatu dari Tuhan, dan mestinya harus dihindarkan. Dalam pemahaman yang lebih mendalam yaitu pada rencana Allah, penderitaan adalah sesuatu yang menuntut manusia supaya berpikir positif. Penderitaan dimaknai dalam tujuan utamanya agar terbentuk sifat-sifat seperti Kristus dalam diri seseorang (roma 8:28-29), Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yakni bagi mereka yang telah dipanggil sesuai dengan rencana-Nya. Dalam hal ini dipahami bahwa penderitaan sebagai pembuktian dan ujian siapa kita.
      Beberapa arti serta makna yang terdapat dalam hidup manusia sebagai hakekat rencana Allah yakni:
  1. Seseorang yang mengalami penderitaan dapat menjadi kesaksian bagi orang lain (II Timotius 2:8-10; II Korintus 4:1213; I Petrus 3:13-17(. Bila orang percaya hidup dalam penderitaan hendaknya dengan sukacita dan dengan stabil menerima dan menjalaninya  akan bisa menjadi bagian kesaksian yang hidup dan  berharga mengenai kuasa Kristus yang diimani.
  2. Penderitaan yang dialami memberi kesempatan untuk manipestasi kuasa serta kemuliaan Allah.
  3. Manusia diizinkan mengalami penderitaan adalah untuk bisa mengembangkan kemampuan dan kesempatan menghibur orang lain (II Korintus 1:3-5).
  4. Bila manusia mengalami penderitaan harus dimaknai sebagai sarana latihan dan memberi arti hidup positif dalam keadaan apa pun juga.[9]

Allah dengan kasih dan setia-Nya sanggup menggunakan penderitaan untuk dapat mengembangkan kebaikan, kedewasaan dan dalam perjalanan hidup dengan Dia (Ibrani  12:5; I Petrus 1:6; Yakobus 1::2-4). Penyakit serta kecacatan yang diizinkan Tuhan terjadi dalam hidup manusia, harus dipahami sebagai bagian rencana Allah dengan maksud untuk menyatakan perbuatan-perbuatan-Nya atas orang itu dan keluarga (Yohanes 9:3). Yesus telah menyatakan demikian atas jawaban kepada murid-murid-Nya terhadap pertanyaan yang diajukan terhadap Yesus. Kejadian tersebut harus dipandang dengan rencana tuhan untuk membawa umat kepada kehidupan yang lebih berarti dan teruji.
            Dengan demikian dalam arti yang luas bahwa kehadiran orang-orang cacat, maka orang yang sehat jasmani diberi kesempatan untuk mengasihi, memperhatikan dan memberdayakan mereka. Tuhan dengan keadilan-Nya telah memjpercayakan talenta-talenta kepada tiap-tiap orang termasuk mereka yang cacat jasmani sesuai dengan kesanggupannya, dan dalam hal ini yang perlu bagaimana mengembangkan talenta itu sesuai dengan kehendak Tuhan.[10]
            Ketunanetraan sebagai sebuah penderitaan akan mempengaruhi mereka terhadap keadaan yang menampilkan kesedihan, kecemasan, mereka terganggu, dan selalu dibayang-bayangi ketakutan serta kekuatiran untuk masa depannya. Inilah gambar yang terlukis dalam hidup tunanetra pada umumnya, sekalipun mereka berusaha keluar dari akibat yang ditimbulkan  dari ketunanetraan itu. Dalam hal ini perlu penanaman pada sebuah harapan dan iman atas keadaan dialami serta membawa mereka pada pengenalan diri sebagai ciptaan Allah yang sama harganya dengan manusia normal lainnya (Yesaya 43:4). Dengan pengharapan dan iman yang demikian akan membangun karakter pada pribadi penyandang tunanetra sehingga memiliki kemampuan untuk berdamai pada diri sendiri dengan keadaan yang dialami.

II.B. Konsep Gambar Diri Tunanetra dari Perspektif Alkitab
II.B.1. Gambar Diri Tunanetra Dalam Penciptaan
Alkitab telah menyatakan dengan jelas dan tegas bahwa manusia diciptakan Allah dan diciptakan dalam jangka waktu yang singkat serta langsung sebagai seorang  manusia dewasa yang sempurna (Kejadian 1:27). Allah menciptakan manusia atas gambar dan rupa Allah (Kejadian 1:26-27; I Korintus 11:7), menurut gambar dan rupa Allah manusia diciptakan di dalam dua bagian yakni:
  1. Dalam Hal kesucian berarti manusia dijadikan dilengkapi dengan pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, manusia dijadikan suci dan tidak berdosa (Pengkhotbah 7:29; efesus 4:24; Kolose 3:10), Adam dijadikan dengan perangai yang suci yaitu kerinduan akan Allah
  2. Manusia sebagai pribadi berarti dijadikan satu pribadi sama seperti Allah adalah satu pribadi. Manusia mempunyai pengetahuan tentang diri sendiri dan juga mempunyai kehendak diri sendiri, manusia mempunyai hati nurani yang dapat memberitahukan mana yang baik dan yang jahat, akan tetapi bisikan kalbu bukan suatu ukuran atau patokan yang sempurna. Sebab hati nurani mungkin sering diabaikan dan dimatikan, oleh sebab itu perlu manusia selalu membaca Firman-Nya agar hati nurani manusia selalu disesuaikan dan bertindak dengan dasar firman Tuhan. Manusia juga memiliki kehendak bebas, mereka berhak memilih yang baik atau yang jahat, dan karena itu manusia mesti bertanggung jawab terhadap semua kelakuannya.
Allah itu adalah Roh dengan demikian Allah tidak mempunyai tubuh. Oleh sebab itu manusia tidak diciptakan menurut gambar Allah secara tubuh sekalipun tubuh manusia ajaib. Manusia mempunyai tubuh, jiwa, dan roh, ia mempunyai bagian jasmani dan rohani. Bagian jasmani ialah tubuhnya dan yang rohani ialah roh. Hasil penciptaan secara jasmani ada tiga seperti manusia elok, mulia (Mazmur 139:14), secara jiwa dan pikirannya tidak dihalangi dan manusia telah mengetahui banyak hal dari akal budinya karena pikirannya tidak dihalangi. Sedangkan secara rohani manusia mempunyai kesadaran yang tidak dihalangi dosa, manusia mempunyai keinsyafan akan hal-hal rohani dan mempunyai persekutuan dengan Allah yang tidak dibatasi  secara jasmani, jiwa dan rohani manusia itu sempurna dan baik ketika manusia diciptakan. [11]
            Manusia adalah puncak seluruh ciptaan dan didalam penciptaan manusia itu sendiri terdapat kekhususan. Kekhususan itu adalah dimana Allah menghembus dengan nafas-Nya sendiri, dan manusia merupakan sentral  dari rencana yang agung  Allah karena itulah Allah menempatkannya dalam suatu lingkungan khusus. Manusia dalam kedudukannya sebagai ciptaan khusus memiliki dua jenis kehidupan yaitu kehidupan jasmani dan rohani sperti yang telah disinggung pada pagraf diatas. Sehubungan dengan kehidupan jasmani, sebuah lingkungan hidup yang sungguh sempurna tanpa kesusahan, dan khidupan rohani dapat menikmati relasi dan komunikasi, bergaul langsung dengan Allah.[12]
Demikianlah juga manusia diciptakan Allah paling akhir dari semua ciptaan yang lain dengan maksud yang khusus pula, karena segala makhluk dan lingkungannya telah disediakan untuk manusia. Allah menciptakan segala sesuatu dan menciptakan manusia sebagai titik dan puncak serta menjadikan manusia mengatur semua yang diciptakan Tuhan. Untuk itulah manusia harus hidup dengan kesadaran mengenai keadaannya yang demikian. Manusia harus menyadari martabatnya yang mulia dari ciptaan yang lain, sehingga memahami bahwa manusia sangat berharga dihadapan-Nya dan dimuka bumi ini. Bukan karena kebetulan atau juga karena karya manusia, dimana manusia tidak sanggup pengerjakan pekerjaan yang demikian tinggi mutunya yang sungguh melebihi semua itu, tetapi oleh karena Allah telah menjadikan sedemikian rupa. [13]
            Dalam kitab Kejadian mencatat, pada waktu Allah menciptakan manusia Allah telah mengambil sikap yang menunjukan perhatian yang sangat pribadi dan mendalam terhadap manusia itu dan cara pendekatan yang dilakukan oleh Allah dengan melibatkan diri-Nya secara langsung dalam hubungan yang lebih erat dan akrab terhadap manusia. Allah mendekati manusia, menyapa dan menyebut pribadi manusia “engkau” (Kejadian 3:9), dan tentu saja manusia diberi kemampuan untuk meresponi ucapan tuhan Allah yang penuh kasih dan kepercayaan. Dengan respon demikianlah manusia menjadi apa sesungguhnya dia, dengan firman Allah olehnya manusia hidup, menempatkan manusia dalam suatu hubungan yang meninggikan manusia diatas seggala ciptaan lain disekitarnya. Adalah merupakan keistimewaan bagi manusia dimana Tuhan Allah telah mengaruniakan martabat sebagai anak Tuhan Allah yang diciptakan menurut citra Allah dan memancarkan kemuliaan Allah. Harus dimengerti bahwa manusia memiliki martabat ini hanya jika manusia berada dalam hubungan yang bertangggung jawab dan penuh kasih terhadap sesama, bila manusia berada ditengah-tengah lingkungan keluarga dan dan dalam hubungan sosialnya dapat benar memancarkan citra Allah (Kejadian 1:27-28).
            Manusia yang diciptakan segambar dan serupa dengan Allah adalah karya yang di dalamnya terdapat keunikan, dimana manusia memiliki unsur non materi seperti jiwa atau roh disamping unsur materi seperti jasmani atau tubuh, lebih dari itu manusia dirancang berdasarkan musyawarah sorgawi sehingga menyatakan bahwa gambar dan rupa Allah telah terencana demikian mutlak pada diri manusia (Kejadian 1:26). Hal itu berarti manusia hidup dalam hubungan dengan Allah, Gambar dan rupa allah yang ada pada diri manusia adalah mencakup:
Kwalitas rasional, kwalitas moral, dan kwalitas spiritual. Karena itulah manusia memiliki kemampuan serta keamauan untuk belajar tentang Allah, mengasihi dan melayani Dia. Allah juga menyatakan akan tanggung jawab manusia terhadap dunia untuk menguasai dan menempatkan wibawa manusia diatas dan bukan tunduk kepada kuasa duniawi. Hubungan manusia yang diarahkan kepada Allah sebuah sikap mencerminkan keserasian dan harmonis terhadap sesama manusia selaku makhluk teologis serta alamiah. [14]
            Sekalipun manusia tidak memiliki kesamaan jasmani dengan Allah, hal itu dikarenakan Allah tidak memiliki tubuh jasmaniah. Manusia memang mempunyai kesamaan tertentu dengan Allah dalam bentuk mental, roh, dan juga sifat-sifat roh, dan sifat-sifat hakiki dari roh itu sendiri ialah akal budi , hati nurani serta kehendak roh adalah unsur yang mampu bernalar, bersifat moral, dan juga kehendak bebas. Ketika menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Allah Dia menganugerahkan pada manusia sifat-sifat yang dimiliki Allah sendiri sebagai Roh. Dengan demikian manusia berbeda dari  semua makhluk lain serta berkedudukan jauh lebih tinggi dan mulia dari semua. Manusia dapat dikatakan termasuk golongan yang sama dengan Allah sendiri sehingga mampu berkominikasi dengan Allah. Kesamaan sifat-sifat antara manusia dengan Allah juga merupakan yang sangat esensi untuk mengenal Allah. [15]
            Ajaran Yesus dalam kitab-kitab Injil Sinoptik tidak mendukung pandangan yang menyebutkan bahwa manusia begitu tinggi nilainya sehingga ia dapat melakukan segala sesuatu dalam kehidupannya tanpa pertolongan Allah. Terdapat pula perbedaan antara kemampuan dan keberhasilan manusia. Yesus tidak memberikan pandangan yang terlalu optimistis bahwa apa yang manusia dapat perbuat itulah yang akan diperbuatnya. Segi-segi lain tentang nilai manusia terlihat dalam pernyataan yang dimuat dalam Injil Markus 8:37; Matius 16:26; Lukas 9:25 yang berbicara tentang memoperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawa. Hal ini menunjukan bahwa nilai manusia dianggap lebih tinggi dari pada prestasinya, milik kepunyaannya, dan kuasa yang dimiliki. Yesus lebih memperhatikan manusia menurut esensinya dan bukan menurut apa yang dimiliki. Maksudnya adalah terletak pada prinsip prioritas bahwa manusia lebih penting dari pada benda-benda. Tidak ada kesan bahwa Yesus mendukung pandangan yang menyebutkan bahwa lingkungan yang sempurna dapat membawa pada perwujudan potensi manusia secara sempurna pula. Misi Yesus yang di dasarkan pada pandangan yang lebih realistis tentang manusia sebagaimana adanya. Ketika Yesus berkata, bahwa memiliki tubuh yang cacat fisik lebih baik dari pada kehilangan hidup (Markus 9:43-47). Yesus yang adalah Mesias mempunyai pandangan bahwa dengan memperoleh keadaan manusia yang utuh tak bercacat fisik itu membenarkan pembayaran harga yang lebih besar namun keadaan manusia yang utuh ini tidak harus mencakup keadaan fisik yang adil dengan perkataan lain bahwa nilai rohani lebih diutamakan dari pada nilai-nilai jasmani.
            Pandangan Yesus mengenai manusia sebagai masyarakat yang telah ditampakkan-Nya dengan teladan dan juga pengajaran, dan secara khusus Yesus dengan jelas menyatakan bahwa manusia tidak pernah dimaksudkan untuk hidup secara individual tanpa mempedulikan orang diluar dirinya atau sekitarnya.Yesus sepenuhnya mendukung pandangan yang terdapat dalam perjanjian lama yakni solidaritas antara sesama manusia yang didalamnya terkandung pemerataan tanggung jawab masalah sosial. Yesus sendiri prihatin terhadap orang-orang yang terendah dimasyarakat seperti mereka yang miskin dan melarat, orang-orang tuli dan orang-orang buta atau tunanetra serta orang lumpuh (Matius 11:4). Bukan hanya itu saja, Ia juga bergaul kepada orang tercela yaitu pemungut cukai serta orang berdosa lainnya (Matius 11:19) dan Yesus berusaha untuk membawa semua mereka masuk ke dalam kerajaan Allah (Matius 21:31). [16]
            Semua manusia berasal dari pencipta demikian juga penyandang tunanetra. Hal ini berarti bahwa martabat serta derajatnya sama, sekalipun terlihat ada yang berbeda yaitu cacat fisik yang disandang, Namun demikian bahwa gambar dan rupa Allah tetap ada pada mereka. Oleh sebab gambar dan rupa Allah ada dalam diri manusia karena itu manusia perlu mencari gambar dan rupa Allah tersebut didalam dirinya sendiri dan merupakan hanya hak Allah saja didalam anugerahNya. Manusia yang cacat sejak lahir mau pun kemudian atau juga cacat mental adalah tetap gambar dan rupa Allah yang juga bagian rencana Allah dan mereka berhak mutlak atas gambar Allah sendiri.
            Keberhakan penyandang tunanetra terhadap gambar dan rupa Allah adalah didasarkan kepercayaan mereka kepada Allah sebagai pencipta. Pandangan bahwa manusia tidak bereksistensi secara otonom atau independen melainkan sebagai ciptaan Allah. Pada mulanya Allah telah menciptakan langit dan bumi, maka Allah juga menciptakan manusia, implikasi yang jelas dalam fakta penciptaan itu adalah bahwa semua realitas ciptaan seutuhnya bergantung kepada Allah, oleh sebab itu jika “menjadi berada atau musnah” semua ciptaan sepenuhnya tergantung pada kehendak Allah sang pencipta. Alkitab dengan jelas telah menyatakan bahwa segala benda dan semua makhluk yang diciptakan sepenuhnya tergantung pada Allah, “hanya Engkau adalah Tuhan, Engkau telah menjadikan langit ya langit segala langit dengan segala tenteranya dan bu;mi dengan segala yang ada diatasnya dan laut dengan segala yang ada di dalamnya memberi hidup kepada semuanya itu dan bala tentrera langit sujud menyembah kepadaMu, (Nehemia 9:6)” Pemeliharaan Allah atas semua ciptaannya termasuk manusia menginplikasikan bahwa mereka bergantung kepada Allah didalam keberlangsungan serta keberadaan hidup mereka. Paulus dalam khotbahnya kepada orang-orang Atena menjelaskan bahwa allahlah yang telah memberikan hidup serta nafas dan segala sesuatu kepada semua orang dan bahwa didalam Dia manusia hidup, kita bergerak, kita ada, (Kisah Rasul 17:25-28). Manusia dalam eksistensinya tidak akan mampu mengangkat satu jari pun diluar kehendak Allah tetapi  hanya didalam dia pada tiap perbuatan  yang manusia lakukan.
            Manusia sebagai ciptaan juga sebagai satu pribadi yang berarti adanya bentuk kemandirian, menjadi pribadi mampu membuat keputusan dan menetapkan tujuan serta bergerak kearah tujuan tersebut. Sebagai satu pribadi berarti memiliki kebebasan setidak-tidaknya membuat pilihan manusia sendiri. Dengan kata lain bahwa ciptaan yang memiliki pilihan dan ia juga satu pribadi yang diciptakan. [17]
            Sebagaimana yang sudah diuraikan diatas, maka penyandang tunanetra kemuliaan Allah tak sedikitpun berkurang dalam hidup dan  ada pada dirinya sebagai perwujudan gambar dan rupa Allah bilamana mereka   sepenuhnya bergantung kepada Allah. Justru ketergantungan kepada Allah merupakan eksistensi kuasa Allah boleh dinyatakan pada keadaan setiap manusia, hal itu berarti bahwa manusia ketika  terpisah dengan penciptanya akan sangat tidak dapat memampukan hidupnya untuk mengaktualisasikan kuasa Allah yang dasyat itu. Ketergantungan penyandang tunanetra akan  memampukan mereka berpikir positif, sehingga dapat berkarya, memilih tujuan hidup, mengasihi dan dikasihi, Sehubungan dengan itu maka manusia dalam keadaan apapun harus menjaga relasi terhadap Tuhan dengan berbagai refleksi dalam ketergantungannya kepada Allah.
            Sehubungan dengan itu maka segala bentuk pengabaian, penindasan, diskriminasi terhadap penyandang tunanetra juga cacat tubuh lainnya tentu menyakitkan hati Allah sebagai pencipta, karena perbuatan itu merusak gambar allah sendiri, namun yang perlu adalah solidaritas pada mereka sebagai refleksi hubungan manusia dengan penciptanya.  Tubuh manusia dengan segala keadaannya tidak dianggap sebagai penghalang hubungan dengan Allah. Hal tersebut dikuatkan dengan pandangan Yesus yang memandang bahwa keadaan manusia yang utuh tidak harus mencakup keadaan fisik yang adil (tidak sempurna) namun yang utama adalah nilai rohani,  dan nilai tersebut “hanya”didapatkan pada hubungan yang aktif dengan Allah sebagai sumber karunia, (Markus 9:43-47), Itulah sebabnya Yesus berusaha membawa orang-orang yang direndahkan dalam lapisan masyarakat masuk ke dalam kerajaan Allah (Matius 21:31).

II.B.2. Gambar diri Tunanetra dalam Dosa
Sesudah manusia diciptakan Allah, lalu ditempatkan di taman Eden. Dalam taman Eden terdapat pohon pengetahuan mengenai yang baik dan yang jahat, allah menempatkan pohon itu karena Ia hendak menguji manusia terhadap pesan allah yang telah disampaikan kepada manusia. Tuhan telah membuat larangan dan manusia wajib mentaati perintah tersebut. Kejatuhan manusia pertama kedalam dosa mengakibatkan seluruh manusia tercemar dan ikut berdosa. Manusia diciptakan oleh Allah dalam keadaan yang suci akan tetapi dosa datang dari luar manusia dan mereka tidak percaya akan Firman Allah.
      Sebagai akibat manusia jatuh dalam dosa, lebih mudah melakukan yang jahat dari pada kebenaran serta perangai dan keturunannya berada dalam pengaruh dosa. Dosa merasuk hidup manusia sehingga manusia mengalami:
1.      Murka dan merasa malu (Kejadian 3:7) Ketidak taatan terhadap larangan yang diberikan atas mereka, manusia melihat suatu kenyataan terhadap diri sendiri atas tekanan dosa dan Tuhan juga mulai menyadarkan hati nurani mereka.
2.      Manusia berusaha sendiri. Mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat (Kejadian 3:7). Sesudah manusia jatuh ke dalam dosa manusia selalu berusaha menyelamatkan dirinya sendiri, ia telah mencoba menenun bagi dirinya sendiri suatu jubah kebenaran.
3.      Manusia menjadi takut (Kejadian 3:8-10). Sebelum manusia jatuh ke dalam dosa, mereka tidak takut dan bahkan mereka bagaikan anak-anak yang selalu senang, mereka menemui Allah kapan saja bila disaat mereka mendengar suarra-Nya. Namun kini sesuatu yang baru sudah masuk dalam hidup manusia yaitu ketakutan .
4.      Manusia bersembunyi (Kejadian 3:8). Manusia menyangka bahwa mereka bisa menyembunyikan diri terhadap hadirat Allah. Demikian pun terhadap keturunan manusia masih mencoba menyembunyikan pelanggarannya, tidak mau menghadap Allah mengakui dosa-dosa mereka dan mencari keampunan (Amsal 28:13).
5.      Membenarkan diri sendiri (Kejadian 3:12). Inilah akibat dosa yang paling buruk, meskipun mereka berdosa dan bersalah, tetapi mereka mencoba membenarkan diri sendiri. Bila mana seorang mencoba membenarkan diri ia selalu menyelahkan orang lain seperti manusia pada waktu jatuh dalam pelanggarannya. [18]
Kejatuhan manusia ke dalam dosa meliputi seluruh sikap dan tindakan terhadap penolakan manusia dalam menanggapi Firman Allah. Ketidaktaatan telah menolak memasuki persekutuan yang indah dengan Tuhan. Manusia kehilangan kesempatan untuk menggenapi tujuan Allah didalam penciptaan yang mula-mula, manusia berusaha mencari dalam dirinya sendiri pembenaran akan keberadaannya, manusia tidak berusaha untuk hidup dalam persekutuan yang benar dengan Allah dan dengan sesamanya dimana manusia seharusnya dapat memancarkan citra dan kemuliaan Allah yang sesungguhnya. Dan akhirnya manusia berusaha mencari makna hidup dalam hubungannya dengan alam sekitar. Hal itu berakibat dimana manusia sebagai manusia yang istimewa dari ciptaan lainnya menjadi status yang diperbudak dengan  luar biasa, munculnya kelemahan kegagalan (Yesaya 40:6; Ayub 14:1), dan manusia demikian busuk dan jahat dalam pikiran, hati (Kejadian 8:21; Ayub 14:4; Mazmur 51:7; Matius 15:19-20; 12:39) sehingga manusia telah memutarbalikan kebenaran Allah menjadi dusta  (Roma 1:25).[19]
            Dosa meliputi seluruh manusia, tidak seorangpun yang luput dari dosa. Yesus menilai manusia secara realistis bahwa manusia sangat berharga dalam pandangan Allah dan Dia juga menerima kenyataan bahwa semua manusia telah gagal, dalam mencapai rencana Allah bagi hidup manusia karena dosa. Dosa itu bersifat batiniah, walaupun ajaran Yesus mengenai dosa berpusat pada tindakan-tindakan atau perbuatan-perbuatan lahiriah namun sebab-sebab dasar dosa berakar jauh lebih dalam apa yang keluar dari diri manusia dan itulah yang menajiskannya. Dosa berarti perbudakan dengan latar belakang kuasa-kuasa kegelapan terlihat bahwa manusia dalam keadaan dosa itu ada dalam cengkraman iblis. Hal tersebut secara tidak langsung mendasaari penjelasan pekerjaan Kristus sebagai penebus. Dosa juga adalah sebuah pemberontakan (Luk.15:11-32) yang merupakan titik balik ialah saat anak bungsu itu menjadi sadar bahwa ia sudah berbuat dosa terhadap allah dan juga terhadap ayahnya, dosanya bukan pada pemborosan yang dilakukan terhadap haarta milik keluarga meskipun hal tersebut tidak dibenarkan, tetapi pada penolakan untuk bertindak sebagai seorang anak yang harus berlaku sebagaimana seharusnya. Dosa manusia sepatutnya mengakibatkan hukuman manusia berada dibawah penghakiman terakhir. Setiap orang akan mempertanggungjawabkan perbuatan di hadapan Allah bahkan juga setiap kata yang diucapkannya. Dari pada itu sesungguhnya ajakan untuk bertobat yang telah disampaikan berulang-ulang menunjukan bahwa keadaan manusia yang berdosa dapat diubah, dan dalam hal ini yang diperlukan adalah suatu kesadaran seperti anak yang hilang anak bungsu yang telah memberontak terhadap ayahnya tetapi ketika dia bertobat dia memperoleh kasih dan pengampunan. [20]
            Penyandang tunanetra dipandang sebagai akibat dosa manusia, merupakan hilangnya hubungan persekutuan yang hidup dengan Allah yang menimbulkan sengsara serta penderitaan, hal ini terlihat di dalam pemahaman murid-murid Yesus ketika mereka bertemu dengan seorang pengemis buta di pintu gerbang Yerusalem. Mereka bertanya kepada Yesus: “Rabi, siapakah yang berbuat dosa. Orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta? (Yoh. 9:2)”. Hal yang dikemukakan murid-murid dalam pertanyaan itu adalah menyangkut masalah pikiran manusia dan murid-murid sepanjang zaman, yaitu persoalan penderitaan serta ketidak samaan di dalam banyak kehidupan manusia. Mengapa manusia dilahirkan kedalam dunia ini ada yang menerima kesenangan, yang lain dilahirkan mengalami penderitaan dan sekarang mengapa dilahirkan buta? Konsep pemikiran pertanyaan tersebut adalah di dasarkan pada Kejadian 25:22-23. Jawab Yesus “bukan” dia, bukan juga orang tuanya tetapi supaya pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan didalam dia, (Yohanes 9:3) Pernyataan Yesus tersebut bahwa orang tersebut mengalami kebutaan atau ketunanetraan “bukan” karena dosa. Akan tetapi  pengemis buta tersebut dilahirkan buta supaya kuasa Allah bisa dinyatakan didalam perkara yang sedang dialami dan karena itu Kristus dipermuliakan, tentang satu hal manusia boleh meyakini yaitu bahwa apapun juga yang membawa kemuliaan bagi Allah didalam hidup manusia akan juga menjadi berkat bagi hidup manusia itu sendiri. Oleh sebab itu tidak perlu manusia meragukan kasih Allah terhadap manusia melainkan carilah anugerah-Nya dengan bersandar pada Firman Tuhan. [21]
            Sikap Yesus yang diperlihatkan terhadap murid-murid-Nya menyatakan bahwa orang buta atau tunanetra yang dipintu gerbang Yerusalem ia dilahirkan buta bukan karena dosa, walaupun kehadiran penderitaan ke dalam dunia ini disebabkan oleh dosa. Namun juga perlu dimengerti bahwa ada penderitaan yang tidak dikarenakan akibat langsung karena dosa. Ucapan Yesus juga mengandung arti yang luas dimana sedang terjadi pembangunan karakter terhadap orang buta atau tunanetra itu sehingga menimbulkan semangat hidup yang berkelanjutan.
            Demikianlah Yesus dengan hikmat sorgawi memandang penderitaan sebagai sesuatu yang dimaknai sebagai sarana kuasa dan kebaikan terhadap orang yang tekun dan tabah memikulnya. Dalam hikmat yang penuh kasih segala peristiwa harus dipandang dari karya Tuhan dalam anugerah Yesus yang adalah sebagai ciptaan yang sesungguhnya, dan hal itu bisa terjadi bila mana dibangun kembali hubungan yang hidup dalam persekutuan dengan Dia, sehingga ketergantungan sepenuhnya kepada Allah akan sungguh  memampukan setiap manusia dalam tiap kapasitas hidup dalam karunia-karunia yang telah dipercayakan bagi manusia untuk hormat dan kemuliaan bagi Kristus Yesus.

II.B.3. Gambar Diri Tunanetra Dalam Anugerah Allah
            Dalam uraian diatas disebutkan bahwa penyandang tunanetra memiliki martabat dan derajat yang sama sebagai ciptaan Allah, demikian juga sebagai akibat dari dosa, namun tidak berhenti sampai disitu. Ketunanetraan itu dapat pula dilihat dalam perspektif anugerah Allah yang dikaruniakan atas seluruh manusia dan pada semua penderitaan. Hakekat penciptaan, adalah rencana karya Tuhan untuk hormat dan kemuliaan bagi Dia, sedangkan hakekat dosa adalah menjauhkan manusia itu dari khaliknnya, tetapi hakekat anugerah Allah adalah pulihnya kembali hubungan yang telah rusak itu menjadi utuh.
            Sekalipun manusia jatuh kedalam dosa, akan tetapi menurut janji Kristus harus dilihat sebagai citra Allah, (Kejadian 5:1; 9:1; Mazmur 8; I Korintus 11:7; Yakobus 3:9). Hal ini didasarkan pada apa makna Kristus didalam diri manusia dan berdasarkan arti manusia didalam Kristus. Hanya didalam Kristuslah makna yang sesungguhnya dari perjanjian yang hendak dibuat oleh Tuhan Allah terhadap manusia dalam firman dan itulah tujuan sehingga manusia diciptakan oleh Allah untuk mencapainya. Manusia hidup dari persorangan (Matius 18:12) dan juga dalam hidup persekutuan (Matius 9:36; 23:37), dan hal tersebut lebih bernilai dari seluruh alam (Matius 10:31; 12:12; Markus 8:36,3), bahwa Yesuslah manusia yang sesungguhnya (Yohanes 19:5), bahwa Yesuslah perseorangan yang unik dan sekaligus mewakili segenap masyarakat bumi dan karya penyelamatan Kristus beserta kemenangan  yang sudah diraih, telah memberikan kebebasan dan kehidupan bagi semua umat manusia di bumi (roma 5:12-21). Penggenapan didalam Kristus Yesus Allah memberikan tujuan hidup manusia yang benar, dalam iman kepada Kristus. Manusia mendapati dirinya sedang diubah menjadi serupa dengan gambar Allah (II Korintus 3:18) dan boleh teguh berharap penuh segambar dengan Dia (Roma 8:29), oleh sebab itu manusia harus meninggalkan manusia lama.[22]
            Yesus lebih memandang manusia sebagaimana keberadaannya dan bukan berdasarkan apa yang dimiliki, dalam hal ini penekanannya adalah prinsip prioritas bahwa manusia dalam hidup lebih penting daripada meteri-materi yang lain. Yesus tidak mendukung bahwa lingkungan yang sempurna dapat membawa pada perwujudan potensi manusia secara sempurna. Pandangan Yesus didasarkan pada pandangan  realistis tentang keadaan manusia sebagaimana adanya. Menurut Yesus bahwa memiliki tubuh yang cacat lebih baik dari pada kehilangan hidup, pandangan itu memberi pemahaman bahwa keadaan manusia yang utuh tidak selalu mencakup keadaan fisik yang utuh atau normal atau dengan perkataan lain nilai rohani lebih diutamakan daripada nilai jasmani. Oleh karena itu Yesus menunjukkan solidaritas yang tinggi dengan kehadiran-Nya di kalangan terendah seperti orang miskin, melarat, tuli-bisu, dan buta (tunanetra), lumpuh. Demikian juga terhadap mereka yang tercela seperti pemungut cukai, serta berdosa lainnya, sifat solidaritas itu diwujudkan dengan bergaul akrab dengan masyarakat golongan bawah serta mengubah mereka menjadi manusia yang utuh dan bermartabat.[23]
            Dalam anugerah Allah di dalam Yesus Kristus yang telah memberi kehidupan tersebut maka jawaban Yesus terhadap pertanyaan murid-murid-Nya, “bukan dia dan bukan juga kedua orangtuanya” merupakan tanggapan yang penuh hikmat dan kasih serta bijaksana yang mana didalamnya terdapat suatu bangunan yang menghidupkan sipengemis buta yang sedang duduk dipintu gerbang Yerusalem itu. Pada peristiwa tersebut justru Yesus tidak mempersoalkan dosa orang orangtua dan dosa orang buta tersebut, melainkan Yesus menaruh hati dan belas kasihan yang mengerakan serta memberikan pertolongan yang dibutuhkan dan menyembuhkannya. Dalam tindakan yang dilakukan Yesus telah membebaskan si pengemis buta itu dari nasib. Berikutnya penyandang tunanetra yang disembuhkan itu mengalami kemajuan iman selangkah demi selangkah (Yohanes 9:35-38). Proses pertumbuhan iman berlaku disini, dimana ia melalui sebuah perlawanan yang hebat daari orang Farisi dan hal itu telah menghantarkannya pada puncak iman kepada Yesus penyelamatnya.[24]
            Kebutaan adalah merupakan karya Allah sendiri. Di dalam kitab Yesaya 29:18; 35:5; dan 42:7, penyembuhan orang yang buta (tunanetra) yang dilakukan oleh Yesus ialah tnda zaman Mesias. Karena tulah penyembuhan orang buta atau tunanetra yang telah dilakukan menjadi tanda yang istimewa baagi orang Yahudi. [25]
            Anugerah yang diberikan oleh Tuhan Allah terhadap penyandang tunanetra, adalah sikap dan tindakan Allah yang didasarkan pada inisiatif untuk menolongnya. Demikianlah cara kasih karunia tuhan bekerja, tuhanlah yang datang,  mencari, allah sendiri yang turun untuk menolong dan mengulurkan tangan-Nya secara aktif. Dalam pada itu bahwa gambar diri tunanetra yang terbentuk oleh karena perjumpaannya dengan Kristus terlihat sebagai perwujudan anugerah Allah didalam diri penyandang tunanetra, adalah sebagai berikut:
  1. Yesus memandang ketunanetran (kebutaan) adalah sebagai sebuah rencana Allah didalam penyandang tunanetra yaitu “karena pekerjaan-pekerjaan Allah dinyatakan didalam Dia” (Yohanes 9:3), sebagai sarana penggenapan nubuatan nabi Yesaya tentang rahmat tuhan (Lukas 4:19).
Dengan berdasarkan pandangan Yesus maka penyandang tunanetra mampu bersosialisasi terhadap keadaan dan realita hidup dengan segala persoalan, pergumulan yang dihadapi dalam hidup dilingkungannya.
  1. Sebagai sarana demontrasi kuasa Yesus dalam bentuk mujizat (Yohanes 9:16).
  2. Pemahaman ketunanetraan sebagai hakekat penderitaan di dalam anugerah Allah, diyakini bahwa hal tersebut “diizinkan” oleh Allah menurut hikmat-Nya yang maha tinggi untuk menempatkan Allah sebagai sentral dalam hidup manusia serta mereka yang tunanetra. arti penderitaan itu sebagai sesuatu rencana Tuhan Allah, telah dialami oleh Ayub dalam hidupnya ya itu mata hatinya menjadi melihat Tuhan Allah dengan jelas (Ayub 42:1-5).
  3. Penyandang tunanetra dizaman Yesus telah menjadi saksi bagi Kristus sebagaimana teriakan Bartimeus yang menyerukan “Yesus Anak Daud” sebuah proses perjalanan iman yang didasarkan pada pendengaran akan Dia yang datang dari sorga. Demikian juga di zaman sekarang ini, gambar diri yang demikian akan  ada di dalam penyandang tunanetra meskipun harus digali dengan baik.
  4. Kebutaan fisik tidaklah menjadi penghalang hubungan dengan Allah, sebab yang diperlukan adalah manusia yang mencakup kwalitas rasional, kwalitas moral, serta kwalitas spiritual, memiliki kemampuan belajar tentang diri dan tentang Allah, dan menyadari dalam segala keterbatasannya, ia juga makhluk teologis dan mahluk sosial yang berinteraksi dengan Allah dan sesama manusia.
Gambar diri penyandang tunanetra hanya bisa diperoleh didalam anugerah Allah dan sudah dinyatakan Yesus di zaman kehadiran-Nya di bumi, sebab itu Yesus bergaul, berkomunikasi dan berbuat pada mereka yang mengalami ketunanetraan. Manusia boleh meyakini bahwa apapun juga yang membawa kemuliaan bagi Allah didalam diri manusia juga menjadi berkat bagi diri sendiri. Sebab itu manusia tidak perlu meragukan kasih-Nya, tetapi carilah arti dan makna hidup di dalam anugerah allah dengan bersandar kepada kasih-Nya , “kita harus mengerjakan pekerjaan dia yang mengutus Aku selama masih siang dan akan datang malam” (Yohanes 9:4). Kristus mengajar manusia untuk menggunakan segala kesempatan yang ada untuk melakukan pekerjaan Tuhan dan lebih dari itu Tuhan sendiri memberikan teladan yang sempurna.

II.B.4. Gambar Diri yang diperbaharui Serta beberapa Konsep pelayanan yang dapat dilakukan Tunanetra
            Sebagaimana yang telah disebutkan pada tiap uraian-uraian terdahulu telah disebutkan mengenai gambar diri penyandang tunanetra. Secara khusus dalam pandangan Yesus bahwa keterbatasan fisik yang ditimbulkan oleh kecacatan indera tidak menjadi penghambat untuk memuji Tuhan Allah. Memuji Tuhan adalah bila penyandang cacat diberbagai kesempatan di dalam pelayanan gereja bahkan dalam organisasi masyarakat mampu berkontribusi sehingga kehadirannya dapat melakukan yang esensi yakni sebagai penatalayanan seperti rencana Allah pada tujuan penciptaan manusia sebagai penatalayan (Kejadian 1:26). Dalam mencapai tersebut diperlukan pembaharuan gambar Allah dalam diri manusia secara berkesinambungan sehingga terarah dan benar untuk melakukannya.
            Pembaharuan atau pemulihan ini terjadi dalam sebuah proses penebusan manusia yang telah dilakukan oleh Yesus Kristus yang adalah gambar dan rupa allah yang sejati. Pembaharuan tersebut serta merta di dalam karya pengudusan yang dikaryakan dalam Roh Kudus yang penuh dengan anugerah. Oleh karena itu bahwa gambar Allah dalam diri manusia merupakan karya dan manipestasi Roh Kudus yang sekaligus memberikan kehidupan rohani yang baru sehingga manusia mampu menggunakan karunia-karunia untuk memuliakan Allah. Pembaharuan tersebut akan memampukan setiap orang hidup dalam kasih dan sesama, memberi kekuatan untuk berfungsi dengan benar, menggunakan kekuatan rasional yang berarti berpikir sesuai kehendak allah, memahami bahwa dalam semua kesempatan terdapat rencana Allah yang bijaksana, juga menyanggupkan manusia mengagumi hikmat-Nya yang tiada batas. Hal pembaharuan juga membuat manusia bisa dengan baik menggunakan indera estetika guna mengekpresiasikan segala keindahan yang sudah Allah karuniakan pada manusia ciptaan-Nya. Salah satu dari karunia itu adalah kemampuan untuk berbicara yang semua orang bisa melakukannya, karunia berbicara memberi peluang dan kesempatan untuk investasi dengan relasi kepada Allah dan sesama umat. Dengan berbagai keindahan karunia yang ada pada manusia memampukan hidup bersama dalam saling peduli dalam membangun citra manusia dalam latar belakang yang berbeda serta kondisi yang berbeda juga. Hidup yang dimiliki individu bukanlah untuk diri sendiri tetapi juga diperuntukan bagi orang lain yang membutuhkan. [26]
            Setiap manusia mempunyai kemampuan diri dan kemampuan itu telah melekat pada setiap individu secara alamiah. Perumpamaan talenta (Matius 25:14-30)  yang diajarkan Yesus kepada pendengar-Nya dapat dijadikan sebagai ukuran perbedaan kemampuan diri yang dimiliki oleh setiap manusia, perumpamaan tiga hamba mengajarkan bahwa kemampuan yang berbeda-beda tidak akan kelihatan maksimal dipergunakan tanpa pemberian talenta. Kemampuan yang dimiliki manusia  berveda-beda meski berbeda tetapi pengharapan yang diterima tetap sama, kemampuan yang dimaksud tidak dapat dibatasi  hanya pada Alamiah manusia. Kemampuan tersebut meliputi aspek khidupan manusia seperti kemampuan mencari uang, melukis, menyanyi, mengajar bermain musik berbicara menulis dan  lain sebagainya. Murid Kristus harus mengembangkan kemampuan dirinya demi dan untuk kerajaan sorga. [27]
            Penyandang tunanetra dalam beberapa aspek mereka normal seperti kwalitas rasio, kwalitas moral, dan kwalitas spiritual. Dalam berbagai karunia juga mereka dianugerahi Tuhan  talenta-talenta yang dapat dikembangkan secara maksimal sehingga menjadi  hormat dan kemuliaan baagi Allah. Dalam beberapa karunia yang dapat dikembangkan bagi tunanetra seperti karunia berbicara, bermain music, mengajar, berkhotbah dan masih banyak lagi. Sebagai jemaat Tuhan karunia-karunia tersebut dapat menjadi kontribusi dalam pelayanan sebagai piñata layanan. Beberapa penyandang tunanetra telah memposisikan diri di beberapa gereja lokal, berkhotbah keliling, selain itu mereka juga mengajar dan menekuni music gerejawi. Dalam beberapa karunia-karunia tersebutlah para tunanetra dapat menjadi saksi dan memuji Tuhan bila mana semua kemampuan itu dikembangkan demikian rupa sehingga menjadi duta-duta Kristus di dalam masyarakat. Dalam hal ini diperlukan pembaharuan secara kontinu dari Roh Allah yang menghidupkan dan memampukan penyandang tunanetra bisa menginpestasikan dirinya dalam pelayanan yang lebih luas.

II.C. Gambar Diri Tunanetra Masa Kini
Di era informasi dan teknologi sekarang, penyandang tunanetra dapat mengalami kelegaan. Seiring dengan perkembangan zaman dengan perubahan yang demikian signifikan, paradigma terhadap penyandang tunanetra juga mengalami perubahan. Kemauan mereka cukup hebat dan tujuan hidup mereka cukup bermartabat sehingga bersama pemerhati social dan kemanusiaan lainnya berjuang bersama tunanetra dalam rangka melepaskan diri dari akibat penyimpangan yang dialami. Masih jelas dingatan penyandang tunanetra seorang tokoh dunia yang telah melegenda dan hal itu terus memberi inspirasi bagi tunanetra guna terus maju, dia adalah seorang Helen Keller yang menyandang tunanetra bisu, tuli (tunarungu) namun telah menjadi inspirasi bagi masyarakat dunia. Dalam kemauan tunanetra yang demikian terinspirasi itu terdapat juga tantangan dari masyarakat seperti yang telah tertuang pada pendahuluan tulisan bab II.

II. C.1. Perspektif Masyarakat
            Gambar atau potret (citra) diri penyandang tunanetra dalam perspektif masyarakat adalah:
Menurut Dr. Hj. Nurdiati Akma pada sebuah seminar yang diselenggarakan yayasan Mitra Netra 31-Oktober-2000 di Jakarta yang bertajuk “Peran serta Masyarakat dan Negara dalam Menangani Masalah tunanetra dan ketunanetraan” menyebutkan bahwa sebagai umat yang beragama kita beryakinan, tidak ada manusia yang sempurna. Manusia dilahirkan berbagai kelemahan dan kekurangan, baik itu berupa fisik, atau pun sifat, harta melipah atau miskin, pandai atau bodoh, rajin atau malas dan sebagainya. Namun setiap orang tentu berupaya agar anak-anaknya dapat lahir dengan normal. Karena bagaimana pun, tidak ada orang yang ingin dilahirkan cacat dan tidak ada orang yang ingin dirinya cacat..[28]
            Masalah penyandang tunanetra adalah salah satu permasalahan social di tengah-tengah masyarakat dan negaara kita yang sampai sekarang masih belum dapat tertangani dengan baik. Hal ini masih kurang disaadari atau belum disadari oleh masyarakat dan pemerintah. Memang pemerintah selama ini telah berupaya untuk meningkatkan sumber daya manusia Indonesia namun kebijakan yang dibuat masih lebih berpihak dan berfokus hanya bagi manusia yang normal atau dengan kata lain kebijakan tersbut mengikut seluruh anggota masyarakat tanpa melihat keadaannya. Akibatnya penyandang tunanetra dengan seggala keterbatasan dan masalah yang mereka hadapi harus bersaing dengan orang yang normal baik dalam meperoleh pendidikan,, pekerjaan, dan kesempatan dalam mengaktualisasikan diri. Keadaan yang demikian ini mengakibatkan kehidupan penyandang tunanetra semakin terburuk dalam kemiskinan dan banyak yang hanya menjadi beban keluarga. Penyandang tunanetra adalah sekelompok masyarakat yang mengalami penyimpangan disebut juga mengalami gangguan karena keterbattasan akibat penglihatan yang tidak berfungsi. Keadaan itu menyebabkan mereka kesulitan untuk hidup dan memperoleh hak-haknya sesuai dengan apa yang diperoleh orang normal lainnya. Sementara peran serta masyarakat dan Negara menangani masalah tunanetra dan ketunanetraan masih dirasakan mendua hati dan cenderung diabaikan.
            Dengan adanya penemuan huruf Brille penyandang tunanetra dapat membaca. Namun hal ini, tidak ada gunanya jika tidak didukung dengan sistim social masyarakat yang dapat menyokong mereka untuk bisa hidup mandiri dan berkarya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Sebagai akibat langsung ketunanetraan, mereka mempunyai pengetahuan dan ketrampilan yang rendah dengan demikian maka kemampuan daya saingnya dipasaar kerja juga rendah, sehingga menyebabkan mereka berada pada posisi social ekonomi yang memprihatinkan dan buruk. Tingginya angka kelahiran dan besarnya jumlah pengangguran menyebabkan hampir tidak ada upaya pemerintah untuk meningkatkan sumber daya penyandang tunanetra. Sebagian besar upaya pemerintah Indonesia hanya diprioritaskan pada permasalahan sosial lainnya, yaitu pengangguran, pendidikan, serta peningkatan gizi anak. Dalam pandangan tersebut, citra diri penyandang tunanetra dikategorikan pada kelompok sosial yang miskin, rendah, dan terabaikan dengan berbagai alasan yang telah dilabelkan. Secara konsepsional keberadaan penyandang tunanetra bagian dari subyek sekaligus obyek pembangunan yang potensial tetapi ternyata masih belum tersentuh oleh pembagian pembangunan secara merata dan adil.
Potret jati diri penyandang tunanetra tidak dapat disangkal lagi bahwa hampir 80% penyandang tunanetra yang berkiprah diberbagai propinsi di perkotaan dari daerah pedesaan yang memiliki status sosial ekonomi yang memprihatinkan. Kenyataan tersebut menimbulkan ketidakmandirian penyandang tunanetra, baik itu mandiri secara fisik, mental, maupun mandiri di bidang ekonomi. Karenanya timbul hipotesis bahwa ketunanetraan identik dengan kemiskinan, sehingga pengentasan penyandang tunanetra dari kerentanannya sebagai warga terburuk dalam kelompok masyarakat marginal berarti pula mengentaskan mereka dari kemiskinan. [29] Salah satu variable destruktif yang menempatkan penyandang tunanetra pada kondisi tersebut, tidak lain karena tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap penyandang tunanetra tergolong relative terbatas dan situasional bahkan apresiasi konstruktif dari masyarakat terhadap kaum lemah ini, biasanya timbul jika ada momen yang mengundang unsur publisitas dan formal. Sehingga pelayanan yang diberikan terkesan prahmatis dan setengah hati, betapa tidak karena secara umum persepsi masyarakat terhadap kaum penyandang tunanetra, cacat fisik cenderung apriori dan apatis dan pembuktian yang obyektif.
Hal demikian ini disebabkan karena tunanetra dipandang dari sisi keberadaannya, tidak dipandang dari sisi kemanusiaan yang cerdas dalam kwalitas rasio, kwalitas moral serta individu yang teologis dan manusia sosial. Di samping itu kurangnya publikasi tentang penyandang tunanetra dengan kemampuan yang dimiliki telah menjadi inspirasi bagi masyarakat dunia seperti Helen Keller dan Lois Brille yang menemukan huruf timbul bagi tunanetra. Demikian juga di era kemajuan teknologi sekarang ini, telah banyak penyandang tunanetra yang dapat keluar dari masalahnya di berbagai Negara termasuk di Inndonesia.
Dalam hal ini diperlukan sebuah tindakan untuk sosialisasi di tengah masyarakat sehingga kelompok masyarakat yang mengalami kelemahan hendaknya dilihat bukan dari keterbatasan, tetapi harus dipahami, dimana ada kelemahan disana ada pula kemampuan.
Sikap negatif masyarakat terhadap penyandang tunanetra adalah sebagai salah satu variabel lingkungan sosial, tampaknya merupakan faktor utama penghambat perkembangan Penyandang tunanetra. Ditandaskan bahwa pada individu penyandang tunanetra bukan ketunanetraannya sendiri penghambat utama melainkan sikap orang awas terhadap mereka. Dan hal itu memberikan pengaruh penilaian penyandang tunanetra terhadap diri serta keberadaannya.

II.C.2. Perspektif Dalam Penyandang Tunanetra
Pada bagian ini penulis membahas sebuah sikap sebagai akibat dampak yang timbul dari ketunanetraan. Penyandang tunanetra sering sekali memberi gambar terhadap dirinya sebagai orang tak berdaya, tidak mampu, tidak mandiri, menyedihkan, dan akhirnya membentuk persepsi purbasangka (prejudice) dikalangan masyarakat bahwa penyandang tunanetra itu patut dikasihani, selalu membutuhkan perlindungan dan bantuan. Persepsi negative tentang ketunanetraan sering sengaja dipertahankan dan diperkuat oleh badan-badan amal demi menggugah hati banyak orang untuk berderma. Hal yang serupa sering dijumpai didalam masyarakat kita, dimana pencari derma berkeliling dari rumah kerumah dengan mengatas-namakan penyandang tunanetra. Citra penyandang tunanetra yang digambarkan oleh pencari derma tersebut bahkan diperkuat oleh pemandangan yang sering dijumpai di banyak pusat-pusat keramaian dimana orang penyandang tunanetra yang tidak berkesempatan memperoleh pendidikan, masuk rehabilitasi atau latihan yang sesuai dengan kebutuhannya terpaksa harus menggantungkan dirinya pada belas kasihan orang lain. Citra diri penyandang tunanetra yang dilukiskan tersebut telah menjadi komoditi oleh medya, seni rupa, literatur derama yang menampilkan citra ketunanetraan yang negative tersebut yakni menonjolkan stigma dari pada menawarkan aspirasi positif kepada mereka yang pada suatu saat berkemungkinan untuk kehilangan penglihatannya. [30] Gambar diri penyandang tunanetra yang diposisikan diatas akan mengundang masyarakat cenderung menempatkan penyandang tunanetra sebagai kelompok menoritas yang sering dihambat aksesnya ke berbagai layanan umum.
Dampak ketunanetraan terlihat pada hambatan ketika mereka melakukan mobilitas dan mengoriantasi lingkungan sekitar, untuk mengatasi hambatan tersebut penyandang tunanetra diperlengkapi dengan latihan oriantasi mobilitas (om) , sering melakukan tindakan yang seharusnya tidak mesti dilakukan, seperti: menggerak-gerakan kaki, tangan atau kepala. Hal demikian ini terjadi ketika penyandang tunanetra sendirian dan tidak melakukan apa-apa. Bagi penyandang tunanetra yang demikian dapat diatasi dengan memberikan untuk melakukan atau mengerjakan apapun yang ada di sekitarnya. Ketika berkomunikasi dengan visual atau juga bahasa tubuh atau bahasa syarat, merupakan kesulitan yang utama dan untuk itu diperlukan berkomunikasi dengan bahasa verbal dan menjelaskan segala sesuatu dengan naratif atau menceritakan.
Individu yang oleh karena suatu sebab dan tiba-tiba menjadi tunanetra akan mengalami hambatan secara psikologis, mental, serta kehidupan sosialnya. Kondisi yang demikian ini sering terjadi mengingat tidak seorang pun pernah membayangkan bahwa dirinya menjadi tunanetra. Penyandang tunanetra umumnya memiliki rasa kecewa, frustrasi, rendah diri, putus asa dan tidak berdaya. Ketidakseimbangan mental ini, tidak mustahil mencari kambing hitam, mempersalahkan diri sendiri dan orang di sekitarnya bahkan juga mepersalahkan tuhan yang menyebabkan dia menjadi penyandang tunanetra. Akhirnya akan kehilangan semangat hidup dan harapan akan masa depan. Dalam hal inilah diperlukan seorang mentor untuk pendamping sampai penyandang tunanetra tersebut dapat menerima keadaan serta menyadari bahwa dalam keadaan bagaimanapun masih dimampukan dalam segala hal. Dengan kehadiran mentor penyandang tunanetra memahami ketunanetraan dalam rencana Allah juga memberi informasi tentang kemajuan tehnologi yang memungkinkan tunanetra bisa mengelolah kelemahan menjadi kekuaatan yang luar biasa.
Disini seorang mentor dapat memberi pengaruh dan  mendorong dan mengajar pada masa sulit yang dialami. Menjadi mentor bagi penyandang tunanetra dibutuhkan kesabaran sebab membutuhkan waktu yang relative sehingga pendirian serta pencitraan diri yang diikuti dengan talenta-talenta secara matang dapat dimunculkan sebagai jawaban atas keagungan Tuhan di dalam kelemahan manusia.[31]

II. C.3. Perspektif Dalam Kemajuan Tehnologi
Seiring berjalannnya waktu dengan segala perubahan di berbagai bidang kehidupan, penyandang tunanetra juga serta merta dapat mengalami perubahan tersebut, sehingga secara positif penyandang tunanetra dalam ketunanetraannya dimampukan meningkatkan martabat hidupnya. Perkembangan bidang teknologi secara signifikan telah memberi suatu yang baru dan telah menolong tunanetra untuk tidak terlalu bergantung, menjadi beban pada orang lain.
Kemajuan tehnologi mulai berpihak kepada penyandang tunanetra, kini telah ada program aplikasi coputer bernama Jaw’s yang memungkinkan penyandang tunanetra untuk surfing di internet, program Jaw’s ini merupakan program yang dapat menterjemahkan tulisan dilayar monitor menjadi suara. Dan tidak hanya itu, sekarang juga telah ada indeks brille printer 4x4 proyan yang memungkinkan penyandang tunanetra membuat majalah buku serta Koran berhuruf brille. Semua aplikasi terhnologi informasi itu bisa menjadi sarana bagi tunanetra untuk berkarya. Diera kemajuan tehnologi sekarang ini, menjadi massage atau tukang pijat bukanlah satu-satunya pilihan mata pencaharian tunanetra. Dengan kemajuan tehnologi penyandang tunanetra dapat berkarya diberbagai bidang. Propesi penulis, penterjemah, jurnalis, telemarketer, penyusun komposisi musik sudah menjadi pilihan yang cerdas bagi tunanetra.[32] Dengan demikian penyandang tunanetra diberbagai talenta-talenta dapat menggalinya sehingga berfunggsi di masyarakat serta menjadi berkat. Dengan demikian seluruh komponen masyarakat dapat memfungsikan peranan sebagai penyokong pemberi semangat bahkan menjadi pendamping hingga mereka benar-benar dapat berdiri diatas kaki sendiri. Hubungan yang indah seperti itu akan mewujudkan karya Tuhan yang maha bijaksana dan maha adil terhadap semua manusia ciptaan-Nya.  




























BAB III

GAMBAR DIRI TUNANETRA PERSEKUTUAN DOA PELANGI KASIH
DI PULAU GEBANG PERMAI JAKARTA UTARA

            Pada bab ini akan di lukiskan gambar diri penyandang tunanetra yang tergabung didalam Persekutuan Doa Pelangi Kasih. Gambar diri tunanetra tersebut meliputi latar belakang kehidupan yang mencakup pekerjaan, pendidikan, interpersonal, aktualisasi, tunanetra dimasyarakat, interpersonal sesama tunanetra serta iman dan pengalaman rohani. Data-data yang dipaparkan pada bagian bab ini diperoleh dari tunanetra yang tergabung dalam Persekutuan Doa Pelangi Kasih, dan untuk mendapatkannya adalah dengan berkomunikasi langsung kepada mereka. Beberapa keterangan dibawah ini menunjukan bahwa penyandang tunanetra sudah  banyak mengalami kemajuan dalam hidup, hal itu dikarenakan cara pandang mereka terhadap ketunanetraan yang telah   berubah kearah yang lebih baik. Pandangan yang positif itu telah memampukannya melakukan sesuatu di dalam hidup sehari-hari.

III.A. Latar Belakang, sikap Tunanetra Memandang Ketunanetraan sebagai kekuatan dan Kelemahan di Persekutuan Doa Pelangi Kasih
            Dalam bab ini penulis menguraikan tentang latar belakang tunanetra berdasarkan penelitian di Lembaga Komunitas Penyandang tunanetra yaitu : Persekutuan Doa Pelangi Kasih, serta membahas bagaimana sikap terhadap penyandang tunanetra

III.A.1. Sekilas Latar Belakang Penyandang Tunanetra di Persekutuan Doa Pelangi Kasih
                Penyandang tunanetra yang tergabung di Persekutuan doa Pelangi Kasih mempunyai latar belakang yang berbeda-beda, mereka berasal dari propinsi dan kabupaten  kota yang berbeda di Indonesia. Hal ini disebabkan didaerah asal belum tersedia panti rehabilitasi yang bisa melatih memperoleh ketrampilan serta bina diri menuju mandiri, mereka sulit memperoleh pendidikan formal , sekolah-sekolah umum terhadap penyandang tunanetra yang usia sekolah belum dapat diterima menjadi siswa di daerah asalnya, disamping itu pekerjaan, taraf pendidikan yang berbeda, dan mereka tinggal ditengah-tengah masyarakat umum di Jakarta sekitarnya. Mereka hidup mandiri seperti masyarakat yang bukan tunanetra dilingkungan mereka berdomisilih. Ketunanetraan yang mereka alami disebabkan banyak factor dan juga waktu ketunanetraan itu disandang. Umumnya mereka menjadi tunanetra dikarenakan factor-faktor seperti sakit, kurang gizi, karena kecelakaan kerja atau juga kecelakaan lain. Demikian juga ketunanetraan tersebut dialami, ada sejak ia dilahirkan, usia Balita, usia remaja dan dewasa atau pada sudah lanjut usia. Tunanetra yang tergabung dalam Persekutuan Doa Pelangi Kasih jumlah mereka terdiri dari 50 kepala keluarga dan 150 jiwa.[33]
            Penyandang tunanetra melakukan segala  aktifitas kehidupannya dengan fisik yang tidak sempurna. Dalam fisik yang tidak sempurna itu tidaklah penghalang bagi mereka, tetapi mereka telah melakukannya dengan hati serta perjuangan yang keras. Suatu nilai hidup yang telah ditambahkan atas hidup mereka dimana cacat fisik yang dialami tidak mengurangi semangat untuk menjalani hidup. Hal itu berpadanan dengan pandangan Yesus yang memandang hidup demikian.

III.A.2. Sikap Tunanetra Terhadap Ketunanetraan
            Penyandang tunanetra dalam pergumulan yang dialami telah menampakan dua sikap sebagai tanggapan terhadap ketunanetraan yang disandang. Perlu diingat bahwa pergumulan bersumber pada kehilangan fungsi penglihatan yang membuat mereka terikat atau tidak bebas, ketergantungan telah membuat mereka harus bekerja keras untuk menghasilkan suatu hasil. Untuk menghasilkan sebuah hasil pekerjaan, penyandang tunanetra bekerja dua kali terhadap pekerjaan orang normal yang hanya sekali dikerjakan dapat berhasil, sedangkan dengan mata yang melihat orang bisa dengan bebas tanpa terikat dan tergantung pada orang lain. Kebutaan telah mendatangkan keterikatan bagi tunanetra sehingga jiwa dan perasaan dan hati tetap bergejolak didalam hidup. Dua sikap tersebut adalah:
1.      Penyandang tunanetra bersikap pasrah tetapi bukan tidak melakukan sesuatu. Sekalipun yang dilakukan didasarkan pada tindakan “terpaksa” untuk melangsungkan hidupnya. Perkataan tersebut kedengaran aneh, tetapi demikianlah merupakan hasil yang timbul dari kejadian yang dialami seorang individu tunanetra. Menurut mereka “apa hendak dikata lagi kalau sudah demikian, harus diterima dan berupaya mencari solusi untuk menggunakan indera yang lain sebagai pengganti mata,” sikap ini dijumpai pada penyandang tunanetra sejak dini.
2.      Sikap kedua adalah suatu sikap positif, penyandang tunanetra menanggapi kebutaan yang mereka alami merupakan suatu peristiwa yang melahirkan maksud-maksud tertentu dibalik penderitaan yang harus dicari dan dipahami arti serta makna yang sesungguhnya. Sikap demikian sering dijumpai dengan ungkapan yang penuh semangat, “dibalik derita pasti ada sukacita, dimana kemauan ada, pasti ada jalan, mata tidak melihat, tetapi mata batin dapat melihat dengan baik,” perkataan dan sikap tersebut menunjukan bahwa  adanya  kedewasaan rohani dan mengarahkan pandangan hidup  kepada  arti peristiwa  yang qdialami oleh individu, sikap ini juga merupakan penjelmaan ungkapan Ayub oleh karena penderitaan yang dialami telah menghantarkannya melihat Allah dengan mata hati yang sesungguhnya (Ayub 42:1-6). Jadi keterikatan dan ketergantungan itulah pergumulan yang berat yang berpengaruh pada emosi dan tindakan yang selalu dialami setiap hari. [34]

Sikap kedua ini diperlihatkan Stenley yang baru mengalami ketunanetraan pada umur 32 tahun. Sebelum mengalami kebutaan, Stenley berprofesi sebagai kontraktor, hidup dijalani dengan berbagai kenikmatan sesuai dengan keinginannya, telah menikah dan Tuhan karuniakan bagi keluarganya putra dan putri, sedang isteri bekerja disalah satu perusahan yang ada diJakarta. Hidup kerohaniannya sangat jauh dari persekutuan dengan Tuhan, ibadah-ibadah gereja jarang dikunjungi, demikian juga doa merupakan sesuatu yang asing baginya. Pada umur 32 tahun Stenley tiba-tiba pada  retina matanya  merasakan sakit yang luar biasa dan akhirnya berakibat pada kebutaan. Guncangan jiwanya pun demikian luar biasa, dimana dari aktif melakukan sesuatu dengan tidak terhalang, kini sesudah menjadi tunanetra harus meminta bantuan dari isteri atau juga orang lain, segala kebebasan pada waktu normal penglihatan, kini hanya sebagai pengalaman yang harus dikubur dan menjadi impian belaka dan dikenang sampai akhir hidup. Tetapi walaupun demikian, Stenley bersyukur karena isteri yang dikasihinya tetap semangat dan memberi dorongan baginya untuk terus menjalani hidup dan belajar memahami realita yang terjadi. Stenley pun belajar menerima ketunanetraan menjadi realita yang harus dijalani dengan penuh kesabaran dan ketabahan. Firman hidup telah mengubah pandangan hidupnya dan memantapkannya mengambil keputusan yang tepat. Pada sebuah ibadah yang diikutinya Stenley mendengar Firman Tuhan yang berbunyi: “Allah turut bekerja didalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan, (Roma 8:28)” mengangkat jiwanya untuk bangkit, Ketunanetraan yang dialami dipahami satu sarana untuk bertemu dengan Yesus dan untuk melayani Dia yang adalah sumber hidup. Saat ini Stenley melayani Tuhan full time di sebuah gereja di Jakarta dan sedang menyelesaikan pendidikan teologi di salah satu sekolah alkitab di Jakarta, dan sekarang hidupnya bersumber dari pelayanan yang dilakukan. [35]


III.A.3. Kelemahan, Kekuatan dan Beberapa Dukungan Dalam Hidup Tunanetra
Dua sikap yang terlihat diatas adalah menunjukan bagaimana tunanetra memandang diri sendiri sebagai penyandang tunanetra. Ketunanetraan telah menjadi realita hidup, mau tidak mau, suka atau tidak suka, yang pasti harus dijalani dengan segala kemampuan yang ada. Mereka tidak menerima begitu saja ketunanetraan yang dialami, tetapi menerimanya dengan sikap aktif dan belajar pada setiap waktu. Sikap yang demikian itu akan menjadi kekuatan bilamana hidup dalam kebenaran Firman Tuhan yang adalah kebenaran. Hal tersebut sesuai dengan pandangan Yesus, bahwa kesempurnaan hidup bukan diukur pada sempurnanya keadaan fisik, tetapi pada kwalitas atau nilai hidup seseorang, seperti yang telah diuraikan pada bab II diatas. Dan justru didalam kelemahan yang dialami tunanetra memperoleh kekuatan (II Korintus 12:9) yang menambahkan nilai perjuangan hidup, mereka berpendapat bahwa didalam kelemahan telah memperkaya hidupnya pada hubungan akan  Tuhan. Mereka tidak hidup sendiri, mereka meyakini akan campur tangan Tuhan atas segala hidup yang dijalani, juga mereka meyakini bahwa setiap manusia apa pun keadaannya memiliki kemampuan yang Allah sudah karuniakan untuk menjalani hidup.
      Penyandang tunanetra di Persekutuan Doa Pelangi Kasih semangat hidup mereka tetap terpelihara dengan baik yang disertai dengan percaya diri yang tinggi. Hal tersebut disebabkan adanya dukungan seperti:
1.      Dukungan yang bersumber dari orang-orang yang mengasihi mereka, mereka selalu diberi dorongan bahwa para “penyandang tunanetra bisa seperti orang normal lainnya.” Pemerhati-pemerhati tersebut adalah merupakan masyarakat yang mau dengan rela menjadi pendamping bagi mereka yang tunanetra menuju tujuannya, permerhati ini adalah manusia yang memandang penyandang tunanetra sebagai sesama manusia yang bisa diberdayakan. Hal tersebut merupakan teladan Yesus terhadap tunanetra yang sudah dipaparkan pada bagian terdahulu.
2.      Dukungan yang berikutnya adalah  pendidikan yang sudah mereka terima baik formal juga non formal. Pendidikan formal adalah pendidikan yang menambah pengetahuan dan wawasan intlektual seperti ketika mereka disekolah SD, SLTP, SLTA dan bahkan perguruan tinggi. Sedangkan pendidikan non formal berupa pelatihan yang dapat digunakan untuk mengurangi ketergantungan terhadap orang lain pada saat melakukan aktifitas, dalam pendidikan khusus ini penyandang tunanetra diperlengkapi dengan: bagaimana memakai tongkat, merawat diri dan mental mereka juga dibina. Secara umum penyandang tunanetra yang ikut program pelatihan khusus ini mental serta emosi mereka sehat, tidak mudah tersinggung tetapi ramah dan cerdas beradabtasi dimana mereka berada.
3.      Doa merupakan dorongan bagi penyandang tunanetra, hal tersebut disebabkan kesadaran akan dirinya sebagai orang yang berharga dihadapan Tuhan, dan hal tersebut dipahami sebagai janji Allah terhadap orang yang selalu menaruh harap pada Tuhan. (Yesaya 43:3)[36]
Pandangan Yesus yang sudah disebutkan diatas adalah merupakan yang sedang digenapi bagi penyandang tunanetra. Hal itu juga dapat mengekspresikan kepada kita bahwa apa yang telah dijalani dalam hidup adalah sebuah proses penyataan kuasa dan anugerah allah. Kehidupan aktifitas penyandang tunanetra terlihat sebagai perwujudan kuasa Allah  dan keberpihakan Tuhan sehingga mereka dimampukan untuk menjalani hidup sehari-hari. Sebagian dari aktifitas hidup mereka dapat dilihat pada bagian-bagian dibawah ini, suatu aktifitas menunjukan gambar diri mereka sebagai penyandang tunanetra.

III.B. Potensi dan Kompotensi Tunanetra
III. B.1. Potensi dan Kompotensi tunanetra Dipersekutuan doa pelangi kasih
            Interaksi penyandang tunanetra yang sehat ditengah-tengah aktifitas yang dilakukan akan bisa terjadi bilamana tunanetra mampu menerima dan dapat beradabtasi dengan baik terhadap kondisinya sebagai tunanetra. Kemampuan mereka menerima ketunanetraan yang disandang telah melahirkan semangat yang luar biasa, percaya diri serta bisa mandiri sebagai bagian masyarakat. Tunanetra yang bersekutu diPersekutuan Doa Pelangi Kasih tidak satu orang pun menjadi “pengemis atau peminta-minta” di jalanan atau juga dipusat-pusat keramaian tertentu. Tetapi mereka hidup dari pekerjaan yang mereka tekuni menurut kesempatan serta peluang yang dimiliki dan talenta-talenta yang ada. Profesi atau pekerjaan yang mereka tekuni adalah:

(i). Profesi Sebagai Massage (tukang pijat)
            Penyandang tunanetra yang menekuni pekerjaan ini adalah mereka yang tunanetra pada usia dewasa. Mereka memasuki panti-panti rehabilitasi guna memperoleh ketrampilan yang dibutuhkan seperti massage dimana ketrampilan ini dapat dipergunakan untuk mencari nafkah bagi hidup keluarganya. Profesi ini sangat banyak ditekuni oleh panyandang tunanetra diberbagai propinsi dan kabupaten kota di Indonesia. Profesi ini dipilih karena pekerjaan ini cepat dan tepat langsung menyentuh tunanetra untuk menghasilkan uang. Menurut mereka bahwa tidak zamannya lagi tunanetra menjadi pengemis, sebab orang yang tidak penyandang cacat pun telah banyak menekuni profesi tersebut. Yesus menyembuhkan orang buta pada zaman-Nya, dengan tujuan agar mereka tidak menjadi pengamen, tetapi dapat melakukan sesuatu didalam hidup, penyandang tunanetra berpendapat bahwa “Yesuspun tidak menghendaki manusia yang diciptakan-Nya itu tidak memiliki martabat dihadapan sesamanya manusia”, oleh sebab itu sesungguhnya bagi kaum tunanetra tidak ada alasan untuk melakukan yang tidak terpuji dihadapan  Allah. Ketika sebagian masyarakat belum dapat menerima tunanetra berdasarkan kemampuannya,”hhal itu merupakan bagian yang mesti diperjuangkan dan hal itupun menjadi tantangan yang memberikan suatu nilai yang menuju martabat sebagai  ciptaan Allah.” [37]

(ii). Usaha Panti pijat
            Usaha untuk membuka panti-panti pijat adalah merupakan sebuah trobosan yang telah dilakukan penyandang tunanetra. Dan penyandang tunanetra yang dapat bekerja dipanti-panti pijat tersebut adalah tunanetra yang memiliki keahlian memijat yang lulus dari sekolah-sekolah massage lengkap dengan sertifikat. Usaha ini semakin memudahkan tunanetra menjual jasa etrampilan memijat kepada orang-orang yang membutuhkan sehingga mereka tidak perlu lagi harus berkeliling dari satu tempat ketempat lain pada setiap gang dan lorong kota dimana mereka berdomisilih. Didalam usaha ini tampak azas kebersamaan karena mereka bisa saling memberkati antara pengerja dengan pemilik usaha, disamping itu para tunanetra yang bekerja sebagai massage terjamin keamanannya karena “tidak harus melintasi jalan yang hiruk pikuk dengan kenderaan yang lalulalang.” Namun demikian panti-panti pijat yang dapat beroperasi bilamana “sudah memperoleh surat izin yang diterbitkan oleh departemen social dan departemen kesehatan.” Hal itu memberi keyakinan pada masyarakat bahwa ketramilan massage yang diperoleh benar-benar dapat membantu kesehatan. Dalam kenyataannya bahwa pijat tunanetra banyak digemari oleh masyarakat secara khusus masyarakat yang bekerja dikantor-kantor yang banyak beraktifitas dengan duduk dan dan sebagainya. Demikianlah usaha panti-panti pijat tersebut berkembang dikota-kota besar dengan pengerja para tunanetra.

(iii). Usaha Koperasi
            Pada saat penulis mengadakan penelitian diJakarta,penulis berjumpa dengan sekelompok penyandang tunanetra yang telah membentuk serta menekuni usaha koperasi yang beranggotakan seluruhnya kaum tunanetra termasuk pendiri dan pengurus koperasi tersebut. Koperasi ini bergerak dalam bidang usaha dagang. Modal pinansial koperasi tersebut yang sudah mereka peroleh cukup besar jumlahnya, dan terbukti usaha tersebut telah lama dijalankan Menurut pendiri koperasi tersebut “bahwa usaha koperasi ini akan terus dikembangkan sampai menjangkau saudara-saudara yang tunanetra mengalami kemandirian dalam bidang ekonomi,” hal tersebut mudah dilakukan. Tentunya kita patut bersyukur pada masyarakat atas partisipasinya mendukung usaha koperasi tersebut sehingga dapat terlaksana, hal itu terjadi dimana koperasi tersebut membuka kerjasama dengan sebuah usaha produksi makanan ringan yang ijual belikan kepada masyarakat dan hal itu pun tunanetra lakukan dengan baik. [38]  Yang kita dapatkan disini adalah bahwa penyandang tunanetra tersebut mereka cerdas melihat dan menangkap kesempatan dan peluang yang ada serta bisa menjadi saluran bagi sesama tunanetra dan juga sekitarnya.

(iv). Profesi sebagai pemusik
            Profesi sebagai pemusik, menurut mereka “bukanla profesi yang luar biasa seperti yang sering digambarkan orang terhadap tunanetra. Namun profesi sebagai pemusik menjadi salah satu pilihan profesi yang cukup cerdas dan cepat menghasilkan terhadap kebutuhan hidup.” Biasanya mereka membentuk kelompok music dan tampil diberbagai tempat seperti digereja dan tempat-tempat lain terhadap masyarakat yang membutuhkan jasa musik mereka.Beberapa jenis alat music dapat dimainkan dengan baik menurut perasaan yang ada pada masing-masing mereka, dan “pekerjaan ini sudah menjadi jiwa bagi sebagian individu tunanetra.” Secara umum jiwa tunanetra sangat dekat terhadap  seni music, olah fokal mereka baik dan ternyata beberapa diantara penyandang tunanetra telah menjadi seorang penyanyi melalui dapur rekaman.[39]

(v). Profesi sebagai Hamba Tuhan
            Penyandang tunanetra telah banyak menyelesaikan pendidikan teologi dan masih banyak jumlah mereka yang sedang belajar diseminari akan tetapi profesi sebagai hamba Tuhan yang melibatkan struktur organisasi lembaga gereja belum bisa menerima mereka. Hal ini disebabkan adanya “kecenderungan pemimpin-pemimpin gereja tertentu masih skeptic terhadap ketunanetraan, cara pandang masih berpusat pada kecacatan serta kesulitan serta keterbatasan  yang ditimbulkan oleh kecacatan itu, seharusnya adalah memandang dari sudut pandang kemanusiaan dan teologis.” Hal tersebut terlihat pada pengalaman seorang tunanetra (Efraim) yang tinggal didaerah Cakung Jakarta, telah menyelesaikan sarjana Teologi dari salah satu perguruan Teologi di Jakarta tahun 2009, belum dapat diterima oleh lembaga gereja. Namun demikian sebagai sarjana teologi, semangatnya tidak surut melayani Tuhan, dengan semangat bersama isteri tetap melayani anak-anak jalanan, gelandangan, pemulung, pengamen, dan sebagainya.” Menurutnya bahwa “semua pelayanan yang dilakukan sama derajatnya dihadapan Tuhan, apakah melayani orang miskin, melayani orang kaya, pejabat tidak pejabat, punya pengaruh atau tidak, harganya sama bagi Tuhan. Oleh sebab itu pelayanan yang kami lakukan bukan melihat organisasi sebagai tempat naungan, sekalipun hal itu diperlukan, namun bagi kami adalah bagaimana Tuhan menghargai  pelayanan ini dihadapan-Nya, Ternyata mereka yang terabaikan oleh gereja telah mengenal Tuhan sekalipun memang banyak tantangan dalam hidup mereka” Pelayanan yang telah dilakukan ini didaerah Cakung Jakarta Hasil pelayanan yang dilakukan telah terbentuknya sebuah persekutuan yang beranggotakan 40-50 orang dan rutin dilayani sekali dalam satu minggu. [40]

(vi). Profesi sebagai karyawan
            Profesi lain yang dapat ditekuni oleh penyandang tunanetra adalah sebagai kariawan dipercetakan buku, majalah, dan surat kabar yang berhuruf “Braille”, menjadi penlis, penterjemah, jurnalis,telemarketer, penyusun komposisi music dan masih banyak profesi yang lain yang mampu ditekuni. [41]
            Dalam hal mnobilitas seperti perjalanan dari satu kota ke kota lain dilakukan dengan memakai tongkat khusus tunanetra, tongkat yang telah dirancang dengan tanda warna merah pada bagian tengah batang tongkat, maksudnya adalah agar orang normal penglihatannya dapat mengetahui bahwa orang tersebut adalah penyandang tunanetra.Penyandang tunanetra yang memiliki pasangan hidup yang normal, terkadang didampingi oleh isteri atau suami bilamana sangat diperlukan. Tunanetra menyadari bahwa rendah diri atau malu bertanya akan mendatangkan negatif terhadap citra diri tunanetra itu sendiri.Oleh sebab itu “sifat rendah diri atau malu menanyakan sesuatu kepada orang lain, perlu dibuang jauh-jauh dari hidup manusia bukan saja untuk orang cacat tetapi juga terhadap mereka yang sempurna penglihatannya.” [42] Pandangan masyarakat sekitar mereka sangat positif. Hal itu dikarenakan mengenal tunanetra akurat, sehingga baik penyandang tunanetra juga masyarakat sekitar sama-sama dapat berinteraksi dengan sehat dan baik Mengenal tunanetra dengan dekat akan merubah sudut pandang yang berbeda dengan sebelumnya pada waktu memandang mereka dari jauh
Untuk pencapaian hidup yang lebih bermartabat, penyandang tunanetra diPersekutuan Doa Pelangi Kasih senantiasa memelihara semangat dan percaya diri yang teguh serta terus melakukan sosialisasi dengan baik. Dengan demikian citra penyandang tunanetra terlihat ditengah-tengah masyarakat sehari-hari. Dalam banyak aspek seperti “ekonomi, pendidikan, social, dan politik harus terus diperjuangkan, dibangun, digumuli sampai mencapai normal seperti orang normal lainnya.” Keikut sertaan tunanetra dalam beberapa kegiatan lingkungan seperti lingkungan Rw (rukun warga), Rt (rukun tetangga), bahkan lingkungan mencakup kelurahan seperti kegiatan 17 Augustus(hari kemerdekaan Repoblik Indonesia)  dan sebagainya merupakan kemajuan selangkah yang dicapai. Penyandang tunanetra yang sudah berkeluarga senantiasa mendorong anak-anaknya maju di segala bidang dengan tujuan “supaya anak-anak tidak enggan dan malu terhadap kondisi orangtuanya yang tunanetra,” telah banyak anak-anak keluarga tunanetra berhasil menyelesaikan sekolah tingkat SLTA dan perguruan tinggi dan telah bekerja. “hal itu menjadi kebanggaan bagi anak-anak sekalipun orangtua mereka cacat tapi mampu menyekolahkan dengan baik.”[43]
            Berfungsinya penyandang tunanetra ditengah-tengah masyarakat sebagai bagian masyarakat, disebabkan kesanggupannya menerima dan mampu beradabtasi terhadap keadaannya  sebagai penyandang tunanetra. Dengan kata lain bahwa “kegagalan yang dialami penyandang tunanetra baik dilingkungan sekolah, keluarga, dan lingkungan sekitar, adalah disebabkan ketidak mampuan seorang individu tunanetra menerima diri sebagai tunanetra yang akhirnya berakibat fatal pada masa yang akan datang” dan bukan saja bagi tunanetra tetapi “juga bagi setiap manusia yang ada dimuka bumi ini.” Sebuah ungkapan yang tulus dan membangun bagi tunanetra lainnya untuk terus berjalan di dalam semangat hidup.

III.B.2. Aktualisasi Diri Tunanetra diPersekutuan Doa Pelangi Kasih di Pulau Gebang Permai Jakarta Utara

            Bersama pengurus Persekutuan Doa Pelangi Kasih beserta seluruh penyandang tunanetra secara aktif membangun hubungan kepada lembaga-lembaga baik suasta dan pemerintah serta masyarakat umum. Tujuan dari relasi yang dibangun adalah untuk memplublikasikan kaum tunanetra dalam segala keberadaannya sebagai tunanetra yang pembangunannya bertujuan menjadi manusia yang utuh atas gambar dan rupa Allah dalam anugerah Yesus Kristus.
            Untuk itu beberapa langkah yang telah dilakukan mereka guna mengaktualisasikan diri secara aktif dengan mengikut sertakan tunanetra, gereja, lembaga social pengusaha, pemerintah dan juga melalui media cetak dan elektronik. Langkah-langkah tersebut adalah seperti:



(i). Kegiatan ibadah bersama
            Ibadah bersama penyandang tunanetra dengan masyarakat sebagai pemerhati dilakukan dengan rutin dua kali dalam setiap bulan. Penyajian Firman Tuhan mencakup pembangunan rohani tunanetra dan  penyampaiannya dilakukan dengan erpariasi pada tiap ibadah, seperti khotbah dan penelaahan Alkitab. Mereka shering atas pergumulan masing-masing, saling mendoakan satu dengan yang lain, dan prinsip yang dikembangkan adalah sebuah prinsip “didalam keterbukaan adalah awal dari pemulihan .” Dengan begitu mereka saling menguatkan saling memberkati.Untuk pengembangan wawasan yang lebih maksimal, mereka menghadirkan pembicara yang telah dikenal public, kehadiran pembicara tersebut “akan menambah semangat kaum tunanettra guna terus menata diri mencapai kwalitas hidup yang bermartabat” sehingga bisa menjalankan fungsinya sebagai penatalayanan dibumi pada hidup sendiri dan keluarga masing-masing. Ibadah yang dilakukan tersebut “tidak terfokus pada satu tempat, akan tetapi dijadwalkan dirumah para tunanetra dan juga dirumah pemerhati tunanetra.” Hal ini dilakukan “agar semua tunanetra dapat saling berkunjung, saling mengenal dan lebih utama ialah dalam rumah mereka diperdengarkan doa-doa serta firman hidup.” Dengan cara yang telah dilakukan ini dapat membangun kebersamaan yang tinggi dan semua mereka dapat maju bersama-sama pada tingkat rohaninya.[44]  

(ii). Mengadakan seminar
            Penyandang tunanetra di Persekutuan Doa Pelangi Kasih senantiasa memandang dirinya dari sudut pandang yang seutuhnya. Tujuan diadakannya seminar-seminar dengan pembicara yang berkwalitas adalah supaya memperoleh wawasan yang lebih luas dan terbuka dan menjadi sebuah proses membentuk karakter tunanetra agar kreatif, berkreasi, mampu mengkritisi, inofatif  dan akhirnya ikut serta dalam pembangunan diberbagai kemanusiaan serta dapat memandang persoalan hidup dengan positif. Sedangkan topic-topik yang disajikan mencakup Pendidikan, ekonomi, politik dan sebagainya.” Pada setiap seminar yang diadakan diharapkan agar semua penyandang tunanetra Persekutuan Doa Pelangi Kasih ikut serta secara aktif dan produktif dicelah-celah seminar yang sedang dijalankan. Melalui seminar dengan tema-tema tersebut, diharapkan kaum tunanetra mampu melihat dengan  cerdas terhadap manusia di tengah-tengah berbagai relasinya dibumi ini.[45]  
(iii). Melalui media elektronika dan media cetak
            Langkah-langkah berikutnya untuk aktualisasi kaum tunanetra adalah dengan menyuarakan suara mereka melalui media elektronik seperti radio dan media cetak seperti majalah dan sebagainya. Pada beberapa program radio mereka mengadakan diskusi bersama pemerintah yang khusus menangani social juga  terhadap pemerhati tunanetra. Dengan melalui siaran radio tersebut juga mereka mengadakan pelayanan rohani (pelayanan Firman Tuhan) dan menurut seorang hamba Tuhan (seorang tunanetra) “banyak tanggapan positif  dari masyarakat atas pelayanan yang dilakukan melalui radio ini, bahkan seorang pendengar siaran radio ini, mengaku bahwa hidupnya disemangati kembali setelah ia menjalani hidup dalam keputus asaan  oleh Firman Tuhan yang di dengar.” Hal ini merupakan sukacita tersendiri bagi “kami sebagai hamba Tuhan yang tunanetra.”

(iv). Melalui rekaman lagu-lagu rohani
            Disamping mereka melakukan aktualisasi diri melalui siaran radio, suara mereka juga disampaikan melalui pujian bagi Tuhan yang telah direkam dalam dapur rekaman. Rekaman yang dihasilkan oleh mereka “cukup baik dan tidak kalah saing bila dibandingkan dengan karya rekaman lainnya.” Didalam pendistribusian rekaman ini “dilakukan dengan berkunjung ke gereja-gereja dan juga melalui orang-orang yang rela menolong, dan dana yang diperoleh melalui penjualan casset tersebut digunakan untuk dana operasional program-program Persekutuan Doa Pelangi Kasih pada setiap bulannya.”

(v). Melalui Pekabaran Injil
            Penyandang tunanetra diPersekutuan Doa Pelangi Kasih, juga telah melakukan pekabaran Injil kepada banyak orang diberbagai pulau diIndonesia dan kenegara tetangga seperti Singgapur. Untuk pelayanan ini mereka membentuk team penginjilan dengan cirri khas yang disesuaikan dengan keberadaan mereka sebagai tunanetra, seperti team pelayanan “tongkat kasih”, pelayanan yang mereka lakukan cukup mendapat sambutan dari kelompok masyarakat yang dilayani, mereka “menjalani daerah-daerah yang belum pernah mereka jangkau bahkan desa-desa yang jauh dari keramaian seperti kota-kota yang lajim dikunjungi oleh mereka. Kepulauan riau, pulau Kalimantan dan daerah lampung daerah yang sering dikunjungi.” Tentu saja mereka membutuhkan pendamping melakukan hal-hal tersebut, mereka membutuhkan teman yang bisa menjelaskan tentang daerah yang sedang dijalani, maka untuk hal ini, mereka bekerja sama dengan beberapa orang yang rela bermisi keluar daerah Jakarta. Sesuatu pelayanan yang luar biasa, “karena perjalanan yang dilakukan selalu ada orang yang bersimpatik dan membantu mereka atas dana-dana yang dibutuhkan.[46] Demikian mereka selalu menyatakan untuk mengaktualisasikan diri guna pencitraannya sebagai gambar dan rupa Allah. Sebagai penyandang tunanetra berkeyakinan bahwa apa yang mereka lakukan hanya oleh anugerah Allah sehingga dimampukan dalam kesempatan untuk berkarya, juga sebagai orang percaya membuat mereka senantiasa bersaksi dengan semangat dan percaya diri yang tetap terpelihara dengan baik.

III.C. Pengalaman Interpersonal tunanetra di Persekutuan Doa Pelangi Kasih diPulau Gebang Permai  Jakarta utara dan factor-faktor yang mepengaruhi

            Sehubungan dengan gambar diri tunanetra yang sudah diuraikan diatas, baik dilihat dari keberadaannya ditengah-tengah lingkungan social masyarakat, dalam bidang ekonomi, dalam bidang pekerjaan, serta aktualisasi diri yang telah dilakukan merupakan satu usaha pembangunan diri secara menyeluruh dalam kehidupan tunanetra. Hal tersebut tidaklah terlepas dari kemampuan mereka berinteraksi pada banyak aspek yang telah dilakukan dalam komunikasi yang berlangsung secara aktif.
            Orang dengan kwalitas emosional yang baik, cenderung akan disukai oleh masyarakat, kwalitas emosi yang juga mampu memecahkan berbagai permasalahan interpersonal, seperti gesekan atau didalam perbedaan pendapat antar  masyarakat, kwalitas emosi yang baik akan berwatak setia kawan, tekun ramah, dan resfek terhadap orang disekitarnya. Demikian juga kemampuan penyandang tunanetra membangun hubungan antar pribadi yang efektif dengan orang lain merupakan kunci keberhasilan proses bermasyarakat. Mereka menyadari “bahwa membangun hubungan yang baik bukanlah mudah dilakukan oleh individu tunanetra.” Hal ini dikarenakan “karena yang dihadapi individu berbagai karakteristik dengan kedinamisannya serta sikap, kebiasaan yang terbangun cukup lama.”[47]

III.C.1. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Kwalitas Interpersonal Individu Tunanetra

            Faktor-faktor yang mempengaruhi kwalitas interpersonal seorang individu adalah, persepsi interpersonal seorang individu, konsep diri, atraksi interpersonal serta hubungan itu sendiri. Hal tersebut juga erat kaitannya dengan ketrampilan seseorang dalam membangun komunikasi verbal dan verbal juga memberikan pengaruh terhadap kwalitas hubungan pribadi seseorang, sedangkan dalam dimensi emosionalitas, kecerdasan emosi seseorang justru memberikan pengaruh yang sangat besar, dibandingkan kecerdasan intlektual terhadap keberhasilan seseorang dalam hidupnya. Faktor pengalaman akan “mempertajam penyandang tunanetra pada hubungan interpersonal bila sikap yang ditunjukan tidak tertarik pada hubungan lingkungannya, dengan sendirinya tunanetra akan merubah sikap dan menampilkan sikap yang lebih bisa diterima seperti pada saat berada disebuah tempat baru, kecenderungannya adalah meraba-raba, dan hal tersebut bisa mengganggu pandangan orang sekitarnya, memang hal itu dilakukan sebagai keingin tahuan akan sesuatu ditempat baru tersebut. Oleh karena itu perlu disosialisasikan akan lingkungan dengan cara bercerita sehingga bagi tunanetra akan tergambar dalam perasaan dimana ia berada.” Kecenderungan yang lainnya adalah “membuat gerakan yang tidak seharusnya dilakukan misalnya menggosok-gosok mata, mengorek-ngorek hidung, individu tunanetra mengira bahwa tidak diperhatikan orang lain.” Hal yang demikian tunanetra perlu diberitahukan dan akan diterima dengan motipasi agar eksis terhadap hubungan interpersonalnya. Pengalaman intrpersonal tunanetra juga didasarkan pada tujuan hidup, keinginan memperoleh pengalaman yang lebih dibanggakan. Disini tunanetra akan memperoleh aspirasi melalui tunanetra yang sudah sukses serta membuat perbandingan dirinya dan akan mendorong semangatnya guna belajar serta mencari sesuatu yang lebih baik.
            Kaum Tunanetra juga mampu membangun hubungan dengan masyarakat dan ini terlihat dalam kemampuan mereka membangun dirinya. Penyandang tunanetra yakin akan kemampuannya untuk mengatasi masalah yang dihadapi, merasa setara dengan orang lain, juga menerima pujian tanpa rasa malu karena hasil yang telah dicapai. Tunanetra juga menyadari bahwa setiap orang mempunyai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui oleh setiap individu dan mereka mampu memperbaiki diri, dan dapat dengan cermat mengetahui hal-hal yang tidak disenangi oleh orang lain dan berusaha memperbaikinya.” [48] Dengan demikian kaum tunanetra memiliki kepribadian dan konsep diri yang sehat melalui kemampuannya membangun hubungan dengan masyarakat dan lingkungannya.

III.C.2. Karakteristik Tunanetra Dalam Persepsi Interpersonal

            Kemampuan kaum tunanetra untuk membangun relasi yang baik dengan masyarakat, adalah didasarkan pada  kepribadian dan konsep diri yang sehat sehingga kaum tunanetra dapat menjalin relasi yang berkwalitas dengan lingkungannya. Pada konsep diri ini penyandang tunanetra memandang diri sebagai individu yang senantiasa dijaga keberadaannya untuk tetap percaya diri yang teguh sehingga terhindar dari sikap rendah diri yang bisa membuat buruk dilingkungan dimana tunanetra berdomisilih. Pada hubungan interpersonal yang efektif penyandang tunanetra “haruslah mengaplikasikan tiga hal penting yang sangat dominan bagi tunanetra sesuai dengan kondisinya sebagai tunanetra. Yaitu: bertanya terhadap apa yang tidak sanggup dioriantasi dengan sistim perabaan. Mendengarkan dengan baik sehingga memperoleh kejelasan tentang sesuatu yang juga tidak mampu dijangkau dengan sistim yang berlaku. Diam bukan berarti pasif tetapi aktif dalam rangka hal-hal apa yang belum jelas dari dua sistim tersebut diatas.”[49]
            Tiga skill ini akan  menjadi efektif dalam interpersonal tunanetra bila difungsikan tepat dan baik. Tiga skill tersebut haruslah dilengkapi dengan sikap kejujuran “menjadikan” control diri bahwa tunanetra membutuhkan orang lain atas kelemahan, keterbatasan yang dialami dan pula akan menimbulkan “empati” dari pihak-pihak orang yang dibutuhkan,demikian juga sikap“optimis”, sebuah penekanan pada sikap positif terhadap apa yang sedang dihadapi pada setiap komunikasi yang senantiasa bisa berpikir positif dan upaya menghindarkan sikap negatif serta prasangka buruk terhadap diri orang lain. [50]

III.C.3. Ciri-ciri Gambar Diri Positif

            Dalam kehidupan interpersonal penyandang tunanetra, yang perlu dimiliki adalah gambar diri positif, dimana pertumbuhan konsep diri yang sehat merupakan dasar yang kuat guna memberi dorongan bagi tunanetra. Beberapa konsep diri positif yang perlu ditanamkan pada penyandang  tunanetra adalah:
1.      Memiliki komitmen terhadap pertumbuhan pribadi. Pribadi yang dapat bertumbuh meliputi kerohanian adalah bila pribadi tersebut mengizinkan Tuhan didalam anugerah-Nya menguasai dan berkuasa penuh atas hidup seorang individu. Untuk memperoleh konsep diri yang sehat dan positif, menjadikan Tuhan menjadi sentral dari hidup manusia. dalam arti yang lebih luas adalah senantiasa menyertakan Tuhan pada setiap rencana hidup, dengan terus membuka diri terhadap kelemahan serta keterbatasan bahkan kelebihan atau keunggulan yang ada kepada Dia yang adalah sumber segala sesuatu secara dinamis, akurat, baik didalam doa juga tindakan-tindakan yang mengarahkan diri pada pembentukan konsep diri, meningkatkan kwalitas interaksi bagi semua komponen yang dapat dilakukan berdasarkan melatih diri dengan mengikuti berbagai pelatihan dibidang rohani serta pelatihan-pelatihan yang lain dengan aktif diberbagai ksempatan dan hal itu akan memperlengkapi setiap individu tunanetra bertumbuhlah secara penuh dalam kedewasaan spiritual didalam Kristus Yesus.
2.      Keterbukaan emosional. Orang yang mempunyai keterbukaan emosional menandakan kecerdasan emosi yang sehat, mereka mampu mengelolah emosi mereka dengan baik disaat mereka berada dalam keadaan yang negatif. Pengendalian diri merupakan buah-buah Roh yang selalu menyertai pribadi yang memiliki citra diri yang sehat, mampu berkomunikasi, membangun relasi interpersonal yang positif dengan disekeliling mereka.
3.      Memiliki Integritas. Integritas adalah konsistensi dan karakter, tindakan yang sepadan dengan perkataan dan keyakinan iman yang yang dipegang setiap individu. Hal ini ditandai bagaimana individu bersikap jujur, jujur terhadap diri sendiri, jujur terhadap orang lain, mempunyai ketegaran dalam prinsip dan tegas dalam bersikap. Setiap orang yang tegar didalam prinsip dan tegas dalam bersikap justru akan mampu melewati setiap masalah dan pergumulan hidup.
4.      Dewasa dan brtanggung jawab. Orang yang beriman yang bertumbuh kearah kedewasaan rohani ialah orang yang berusaha membangun konsep diri yang benar, yang berdasarkan pada sifat-sifat Allah dan Firman Tuhan. Menyadari bahwa kebutuhan pribadi yang mendasar akan memotipasi untuk merasa aman dan dihargai, dipenuhi didalam Yesus Kristus. Ia sanggup menerima dirinya dalam keadaan apa pun sehat-sakit, miskin-kaya, senang-susah, cacat-tidak cacat secara fisik sebagai ciptaan Allah yang unik, yang diciptakan untuk berfungsi dalam tujuan yang khusus pada rencana Allah.
5.      Hidup yang positif. Orang-orang  yang positif akan menciptakan hubungan positif, sedang orang-orang negatif menunjukan hubungan yang negatif pula. Namun suasana yang negatif dapat berubah bilamana ada pengaruh dari orang-orang yang bersikap positif. Orang yang memiliki citra positif akan mampu mencapai tujuan hidup sekalipun menghadapi kesulitan, tantangan, normal atau cacat tubuh.

III. D. Peran Pendidikan Dalam Mempengaruhi Gambar Diri Tunanetra

            Pembentukan gambar diri penyandang tunanetra sangat dipengaruhi oleh factor pendidikan, Baik pendidikan formal dan juga pendidikan non formal. Penyandang tunanetra diPersekutuan Doa  Pelangi Kasih pada umumnya telah mendapatkan pendidikan, sekalipun mereka yang pernah “ikut pendidikan formal masih relative sedikit, seperti SD, SLTP, SLTA dan perguruan tinggi.” Namun pendidikan non formal seperti mengikuti pelatihan-pelatihan ketrampilan mereka seluruhnya mendapatkannya. Tunanetra yang memperoleh kesempatan pendidikan formal seperti yang disebutkan diatas adalah mereka tunanetra sejak kecil dan remaja, dan mereka juga telah mampu beradabtasi dengan masyarakat normal dilingkungan sekolah. Pada taraf dasar penyandang tunanetra disekolahkan pada Sekolah Luar Biasa (SLB). Pada tahap sekolah luar biasa ini seluruh siswa dan siswi adalah tunanetra dan mereka akan dibekali dengan pelatihan-pelatihan tentang bina diri seperti merawat diri sendiri dan mengurus ruangan tempat tinggal, latihan oriantasi dan mobilitas serta latihan-latihan untuk bermasyarakat. Pada latihan oriantasi dan mobilitas, mental para penyandang tunanetra benar-benar dibina sehingga mental mereka siap dan tangguh. Dengan latihan-latihan akan membuat tunanetra bisa bersama lingkungan sosialnnya pada masa-masa berikutnya.”Hasil dari latihan tersebut sudah mengantarkan penyandang tunanetra pada kesedaran dalam haknya menrima pendidikan.” Pada saat selesai dari sekolah dasar luar biasa, pada taraf berikutnya seperti SLTP, SLTA dan selanjutnya mereka beringtegrasi di sekolah-sekolah umum. Tingkat perguruan tinggi displin ilmu yang lazim ditekuni adalah “seperti: Bahasa Asing, Ilmu Hukum, Teologi, dan Pendidikan Luar Biasa (PLB).”
            Mereka yang tunanetra pada usia dewasa, mereka menempuh jalur non formal dan masuk kepanti-panti rehabilitasi dan akan difasilitasi diberbagai pelatihan seperti mereka yang disekolah dasar luar biasa, disamping itu diperlengkapi dengan ketrampilan-ketrampilan seperti massage, musik serta ketrampilan yang lain yang bisa cerdas difungsikan dalam kelangsungan hidup pada saat mereka terjun ditengah-tengah masyarakat. Penyandang tunanetra yang telah melalui pendidikan memiliki percaya diri dan mampu berdiri diatas kaki sendiri. Jadi penyandang tunanetra yang “biasanya mengikuti dua jalur pendidikan tersebut dengan alasan bahwa kedua-duanya berkontribusi untuk inpestasi bagi tunanetra didalam hidup keluarga serta kebutuhan yang lain.” Menurut penyandang tunanetra bahwa “bila demikian tidak ada alasan siapapun untuk tidak bermitra dengan tunanetra, dalam hal ini justru masyarakatlah harus merubah paradigma terhadap tunanetra.” Tindakan keseluruhan tunanetra dalam aktifitas hidupnya adalah merupakan perwujudan Firman Tuhan yang membangun serta mencelikan mata orang buta serta menghidupkan karakter dalam rangka penyataan Allah.[51]  

III.E. Peran Sesama Tunanetra Dalam Mempengaruhi Gambar Diri Tunanetra

            Maksud dari subjudul ini adalah bahwa dengan sesama tunanetra boleh saling menguatkan, saling menopang, serta menyadari bahwa penyandang tunanetra “tidak hanya sendiri saja.” Tetapi ada “banyak sesama tunanetra yang sama-sama mengalami, merasakan keadaan sebagai tunanetra.” Dalam pada itu diberbagai perkembangan, peluang dan kesempatan bisa memberi informasi, yang utama adalah “dapat membantu memulihkan keseimbangan psikoligis, mental dan social emosional sesama tunanetra secara khusus terhadap yang baru mengalami ketunanetraan.”
            Pelayanan yang dilakukan di Persekutuan Doa Pelangi Kasih dilakukan oleh hamba Tuhan yang tunanetra. Pelayanan yang dilakukan hamba Tuhan yang tunanetra sangat memotivasi dan mendorong pertumbuhan kerohanian dan hasilnya adalah terpelihara hidup yang dinamis diantara tunanetra. “Ketika penyandang tunanetra saling bertemu, kaum tunanetra terhibur dan bersukacita, karena tunanetra boleh saling mengenal satu dengan yang lain dan memberikan penghiburan tersendiri bagi diri tunanetra sendiri.” Oleh karena itu, menurut penyandang tunanetra “perlu disetiap daerah-daerah yang terdapat penyandang tunanetra perlu dipasilitasi untuk pembentukan-pembentukan persekutuan-persekutuan doa, sehingga jarak pertemuan tidak terlalu jauh, sehingga dapat optimal.”[52]

III.E. Peran serta Firman Tuhan yang Mengubah Gambar Diri Tunanetra

            Beberapa kesaksian penyandang tunanetra 13 Augustus 2009 di Jakarta menyebutkan: “hidup yang  dijalani dahulu selalu bersikap skeptis, memandang hidup tanpa harapan, penuh dengan sungut-sungut, adanya rasa ketidak puasan atas keadaan yang dialami, bersikap pasrah dan apatis, merasa tidak berguna lagi.” Namun bersyukur Pada Tuhan “bahwa dengan kehadiran alkitab Braille yang telah dikemas dengan buku berhuruf timbul (dapat diraba dengan jari tangan) dan juga dikemas dengan kaset (dapat didengar dengan indera pendengaran). Diperkuat lagi dengan kehadiran hamba Tuhan untuk mengajar Firman Tuhan tersebut.” Dari pada itu pengetahuan dan pemahaman mereka akan Firman Tuhan cukup baik dan telah membangun karakter dan kedewasaan iman terhadap Tuhan. Pemahaman mereka akan kehadiran Yesus kedalam dunia “menunjukan keberpihakan Tuhan pada kehidupan tunanetra.”
            Pengaruh Firman Tuhan atas hidup mereka demikian luar biasa sehingga mereka sanggup berkata “Kelemahan yang ada pada kami dimengerti menjadi alat kuasa Allah untuk disempurnakan (II Korintus 12:9) dan ayat ini mengajak tunanetra untuk senantiasa mencari kehendak Allah dalam hidup dan menjalaninya dengan iman yang sudah diperkaya bagi kami tunanetra.” Keadaan sebagai tunanetra tidak lagi dipahami sebagai akhir hidup. Tetapi sarana “perjuangan memahami hidup yang berarti, yang menarik menurut tunanetra bahwa Tuhan tidak pernah buntuh atau habis akal menggerakan manusia didalam keadaan apapun.”
            Suatu pemahaman yang luar biasa itu telah memanggil untuk pergi keberbagai pulau dan beberapa Negara terdekat dengan Indonesia dalam pemberitaan Injil, karena dengan demikian “genaplah Firman Tuhan bahwa didalam diri orang buta (Yohanes 9:3) pekerjaan Allah dinyatakan.” [53]























BAB IV
PRINSIP STRATEGIS PEMBENTUKAN GAMBAR DIRI YANG POSITIF BAGI PENYANDANG TUNANETRA

IV. Strategis Pembentukan Gambar Diri Tunanetra Positif
IV.A.1. Konsep Strategis Menurut Kebenaran Alkitab
Citra diri penyandang tunanetra haruslah dibangun diatas dasar rencana agung Tuhan yang menghendaki manusia agar dapat srupa dan segambar dengan-Nya. Ini adalah rencana tuhan pada manusia yang diciptakan itu dan tidak pernah dibatalkan, oleh sebab panggilan orang percaya untuk menemukan gambar Allah yang telah rusak atau hilang itu. Karena itu haruslah memiliki pengertian yang benar terhadap citra diri individu dimana citra diri orang percaya memandang pada satu pribadi Kristus.
Pembentukan gambar diri tunanetra ialah merupakan satu prinsip yang kuat, dan prinsip yang dipakai adalah otoritas kebenaran Alkitab. Menggunakan konsep kebenaran alkitab sebagai standar moral dalam tindakan. Kebenaran alkitab adalah fondasi yang mampu memberikan kekuatan untuk tetap kokoh dan tetap teguh ketika menghadapi tantangan dalam kehidupan sehari-hari.[54]  Sedangkan yang pembentukannya ada didalam tunanetra itu sendiri seperti: motipasi, kemauan serta cita-cita hidup dan beberapa kecerdasan yang dimiliki yaitu rasio, moral serta spiritual dan dikuatkan dengan kemampuan diri berupa karunia-karunia yang sungguh luar biasa apabila dikembangkan dengan baik. Bila bagian-bagian diatas telah dikembangkan, akan terbentuk gambar diri yang positif dalam hidup tunanetra. Namun demikian perlu dipahami bahwa pengembangan diri itu tidak akan terjadi kalau tidak didukung dengan kesempatan dan peluang yang diberikan terhadap penyandang tunanetra.

IV.A.2. Orientasi dan Mobilitas
Didi Tarsidi adalah seorang penyandang tunanetra yang telah meraih gelar Doktor pendidikan, seorang tenaga professional pengajar di Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, telah mengemukakan bahwa kemampuan yang paling penting bagi penyandang tunanetra untuk berhasilnya pengembangan diri idividu tunanetra adalah di dasarkan pada kemampuan oriantasi dan mobilitas (OM) yaitu satu ketrampilan untuk berpindah-pindah tempat dilingkungannya. Ketrampilan mobilitas ini sangat tergantung pada kemampuan oriantasi, yaitu kemampuan untuk dapat memahami hubungan antar lokasi antara satu obyek dengan obyek lainnya. Ada dua macam yang dapat ditempuh oleh individu penyandang tunanetra untuk memperoleh dan memproses informasi mengenai suatu lingkungan, yakni dengan metode urutan (sequencial mode) yang melukiskan titik tertentu pada lingkungan,  dan yang kedua dengan peta kognitif yang memberikan gambaran pemetaan tentang hubungan secara umum antara berbagai titik didalam lingkungan. Akan tetapi metode konseptualisasi ruang apapun metode urutan metode peta kognitif penyandang tunanetra tetap tidak dapat sempurna dalam hal mobilitas bila dibandingkan dengan orang yang bukan tunanetra. Dari pada itu bahwa penyandang tunanetra harus bergantung pada kemampuan mengingat untuk memperoleh gambaran tentang lingkungannya dibandingkan dengan orang yang melihat.[55]  Hal yang telah dikemukakan tersebut ialah merupakan satu konsep strategis untuk mendukung terhadap kemampuan-kemampuan yang lainnya, dan hal ini diperoleh ketika penyandang tunanetra ada disekolah dasar serta dipanti-panti rehabilitasi. Jadi dalam pembentukan gambar diri tunanetra yang penting adalah memahami dan bisa menggunakan oriantasi
dan mobilitas dengan tepat dan baik sehinggga dapat memperkecil ketergantungan terhadap orang awas lainnya. Dalaml hal ini, oriantasi dan mobilitas merupakan alat bantu bagi tunanetra terhadap pengembangan diri yang lebih mandiri.[56]

IV.B. Tugas Gereja Menolong Kaum Tunanetra Membangun Dirinya (Yoh.9:3)

            Pada bab III telah diuraikan beberapa sikap tunanetra terhadap diri mereka sebagai penyandang tunanetra, bagaimana mereka dengan fisik yang tidak lengkap melakukan aktifitasnya, bagaimana mereka mendapat dukungan sehingga kelemahan bisa  menjadi kuat, serta karya-karya yang dihasilkan yang menyatakan bahwa mereka adalah manusia, serta factor-faktor pendukung sebagai alat untuk bisa mampu melakukannya.

IV.B.1. Gereja sebagai Sarana Dalam Pengembangan Tunanetra

            Dalam tahap berikutnya adalah bagaimana gereja, masyarakat, dan Negara mengambil peranan menjadi alat atau pendamping bagi  penyandang tunanetra agar dalam ketunanetraannnya diberdayakan secara positif. Yesus sebagai manusia sejati telah melakukan sesuatu terhadap manusia yang lemah dan hal itu dilakukan atas cara pandang Yesus terhadap semua manusia adalah sesama-Nya. Oleh sebab itu gereja sebagai lembaga rohani dan social, harus mampu memasyarakatkan perkataan dan perbuatan Yesus dengan kongkrit menjadi ujud yang nyata pada masa sekarang. Gereja-gereja dalam strukturalnya masih terasa mendua hati dan enggan membuat sesuatu yang baru terhadap pelayanan penyandang tunanetra dan sikap yang demikian itu adalah sikap skeptic dan apatis terhadap tindakan nyata untuk menerusknan teladan Yesus. Penyandang tunanetra senantiasa dianggap sebagai obyek pelayanan diakoni social gereja yang diwujudkan melalui pembangunan panti-panti asuhan (penampungan) seperti program pemerintah pusat atau propinsi kabupaten kota. Gerejapun dalam tanggung jawabnya telah memberi partisipasi melalui persembahan yang terprogram satu atau dua kali setahun dan disalurkan kepanti-panti penampungan yang telah dibangun, disini tidak terlihat pembangunan manusia yang beroriantasi pada hakekat kemandirian individu seperti yang telah diteladankan Yesus kepada orang banyak dan murid-Nya atas penyembuhan orang-orang buta, (mat. 9:29,20:34; Mark. 8:23-25, 10:52; Luk. 18:42; Yoh. 9:3). Gereja tampaknya bangga dan menunjukan sikap tenang dan termangu bilamana penyandang tunanetra menyumbangkan satu atau dua buah nyanyian rohani dihadapan jemaat dan jemaat masing-masing mengulurkan sedekah dengan kepingan atau lembaran uang terhadap mereka dan telah merasa berjasa bila telah membeli barang-barang yang tunanetra bawa  pada saat berkunjung kegereja-gereja. [57]
Banyak orang melakukan tindakan kasih pada tindakan yang salah. Artinya tindakan yang dilakukan tidak tepat pada hakekat pertolongan yang diberikan, perbuatan yang dilukiskan diatas menunjukan suatu tindakan Kasih. Kasih yang demikian itu tidak akan bisa menolong, tetapi justru melemahkan dan mematikan serta tidak membangun gambar diri penyandang tunanetra  tersebut. Sesuai pengamatan penulis, gereja pun masih sering melakukan pelayanan yang demikian. Oleh sebab itu gereja perlu meneladani Kristus yang melakukan tindakan kasih dengan tulus.

IV.B.2. Paradigma Gereja berdasarkan pada solidaritas Yesus yang perduli terhadap kaum tunanetra

            Untuk mewujudkan perkataan dan perbuatan Yesus, gereja harus mengevaluasi paradigma yang salah dalam memandang kaum tunanetra. Gereja harus mewujudkan sikap solidaritas yang diajarkan oleh Yesus, yaitu keperdulian, menanamkan sikap satu rasa, dan setia kawan bagi siapa pun termasuk kaum tunanetra. Solidaritas tersebut dibangun berdasarkan konsep kasih, kuasa dan keadilan. Tiga konsep  ini terikat erat satu dengan yang lain dan menjadi pilar-pilar dalam pembangunan solidaritas sosial (Mat. 19:27-20:16).
            Yesus memberi teladan supaya pengikut-pengikut-Nya mengembangkan prinsip dan sikap memberi bahkan memberi hidup, terhadap orang miskin rohani dan materi, mereka yang tertindas dan mereka yang penyandang cacat tubuh, dalalm hal memberi berarti memberdayakan hidup sehingga hidupnya lebih berarti, bermakna, bermartabat dan dimasa yang akan datang diharapkan mereka juga dapat memberi hidup sehingga bukan penerima hidup  saja. Memberi hidup akan memperoleh makna baru Dallam hidupnya, pelayanan memberi hidup dengan cara memberdayakan penyandang tunanetra secara inklusif adalah merupakan suatu demonstrasi kuasa yang membebaskan, pelayanan memberi hidup adalah demonstrasi kuasa terbesar karena memberi hidup merupakan pemberian tertinggi. Oleh sebab itu, yang perlu ditumbuh kembangkan gereja adalah mentalitas semacam apa yang akan diberikan terhadap mereka yang membutuhkan, mencerminkan kasih yang didasarkan pada kesadaran manusia dan merupakan inplementasi kuasa yang melayani orang lain.[58]  
            Dalam rangka solidaritas yang didasarkan pada kasih, kuasa serta keadilan gereja terhadap pelayanan, maka penyandang tunanetra bisa ambil bagian dan menduduki jabatan-jabatan digereja di structural organisasi. Tentu saja hal ini berdasarkan karunia yang telah dikaruniakan Tuhan (I Korintus 12:4-6) bilamana gereja memberikan kesempatan bagi penyandang tunanetra untuk ikut serta dalalm pelayanan justru akan menyatakan pekerjaan Allah dan Allah dipermuliakan didalamnya. Hal itu pula akan memberikan arti rohani yang baik bagi orang sekitar untuk iman yang teguh akan dibangun, sekalipun tidak melihat secara lahiriah bukan berarti tidak dapat melakukan kehendak Allah.
            Dengan demikian bahwa gereja melaksanakan teladan Yesus dan gereja hidup sebagaimana Yesus hidup. Surat Paulus kepada jemaat di Galatia 3:27 menyebutkan suatu pengenalan diri yang baru atau pribadi yang baru mengenakan sifat-sifat Kristus, dan (Roma 13:14) yang berarti suatu keberadaan yang baru sebagai anggota tubuh Kristus (I Korintus 12:12-13). Disini bahwa orang percaya mencitrakan Allah dengan “menjadi” bagian tubuh Kristus yang adalah gambar Allah yang unik. Ini menyatakan bahwa pembaharuan gambar Allah terdapat didalam aspek gerejawi yang berarti pula bahwa pembaharuan tidak berlaku dengan individu yang terisolasi tetapi berkenan dengan orang-orang percaya dalam tubuh Kristus, dengan demikian pula berkenan dengan gereja yang Kristus sudah kuduskan. Sekarang gambar Allah itu dapat dilihat dalam bentuknya yang kaya dalam Kristus, dan gereja juga menginplikasikan pemulihan gambar Allah dalaml diri manusia, dan gereja meujudkan melalui persekutuan antar orang percaya dimana belajar “menjadi” serupa Kristus dengan mengamati sesama orang Kristen. Dengan demikian kasih Kristus tercermin didalam kehidupan sesama orang percaya dalam Kristus.[59]  

IV.C. Peran Gereja dalam Mengintegrasikan Pelayanan Kaum Tunanetra di tengah Masyarakat
IV.C.1. Sikap Gereja Dalam Tindakan Kongkrit Terhadap Tunanetra

 Sehubungan dengan ini, beberapa tindakan kongkrit didalam tugas  gereja terhadap  penyandang tunanetra adalah sebagai berikut:
1.      Gereja perlu merumuskan kembali azas dan syarat penerimaan pekerja dan disesuaikan dengan pembaharuan yang sudah Yesus lakukan. Mengenai tentang “kekurangan” dan “kelemahan” Paulus telah berpendapat tentang hal itu, “tetapi jawab Tuhan kepadaku: cukuplah kasih karunia-Ku kepadamu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna” (II Korintus 12:9)”
2.      Gereja mengadakan pendampingan terhadap penyandang tunanetra dan keluarga serta berfungsi menjadi mediator terhadap persoalan yang dihadapi.Seharusnya gereja bertanya, “apa yang kau kehendaki supaya Aku perbuat kepadamu? (Markus 10:51)” Dalam hal ini telinga yang mendengar dan mata yang melihat serta hati dengan kasih tulus perlu berfungsi dengan maksimal terhadap keluhan penyandang tunanetra serta keluarganya. Disinilah berfungsinya ppelayanan “diakoni social” gereja menyarankan memasuki sekolah terhadap penyandang tunanetra usia sekolah, begitupun juga terhadap penyandang tunanetra yang sudah tidak lagi usia sekolah untuk masuk kepanti-panti rehabilitasi guna mendapatkan ketrampilan yang akan digunakan untuk melangsungkan hidup, bukan menyarankan mereka masuk kepanti-panti penampungan. Peranan gereja yang lain adalah menumbuh kembangkan iman dan harapan keluarga bahwa Tuhan sanggup melakukan banyak hal dalam keadaan apapun.
3.      Gereja menjadi pendamping bagi tunanetra untuk memperoleh haknya, dimana mereka dihalang-halangi mengikuti pendidikan atau juga memperoleh  kesempatan untuk  bekerja yang bisa dilakukan dengan cerdas.
4.      Gereja perlu memperjuangkan guna mendapatkan  kesataran penyandang tunanetra terhadap orang normal, bukan saja kesetaraan  sebagai ciptaan Allah, tetapi juga  kesetaran jabatan dalam pelayanan digereja sehingga gereja bisa mampu menjadi teladan terhadap pemerintah dan lembaaga-lembaga kemanusiaan lainnya dan lembaga-lembaga tersebut memperlakukan penyandang tunanetra menurut azas kemanusiaan yang adil dan bermoral serta bertanggung jawab dengan berdasarkan kesetaraan.
5.      Dalam program gereja sebagaimana dengan keuniversalannya hendaklah menjadi motipator bagi semua elemen-elemen serta mampu mentransformasikan hakekat kepeduliaan Yesus pada semua golongan masyarakat pada tingkat apa, keadaan apapun jua.Dengan demikian bahwa manusia dalam berbagai keberadaannya akan menjadi alat penting dalam gereja untuk meneruskan misi dan visi Allah yang besar. Sesungguhnya tidak ada manusia yang sempurna, semua memiliki “kelemahan” dan “keterbatasan”, dan dalam hal itupun Allah berkenan dengan inisyatif-Nya sendiri mau menggunakan alat yang tak sempurna menjadi alat kuasa-Nya.
6.      Dalam pelayanan gereja yang universal bisa mengadakan pelayanan terpadu dengan lembaga-lembaga pendidikan formal dan non formal yang ada ketika penyandang tunanetra bersekolah disekolah dimana mereka menjadi siswa-siswi. Dengan demikian bahwa dana-dana yang digunakan membangun panti-panti penampungan bisa dialokasikan terhadap program kemanusiaan lainnya.
7.      Gereja sebagai imformator bagi penyandang tunanetra terhadap perkembangan yang sehubungan dengan kemajuan tehologi, sehingga mereka berpengharapan bahwa mereka juga bagian dari zaman yang terus bertumbuh dan berkembang. Hal ini gereja dapat melakukan sensus apakah dijemaat setempat atau dilain tempat ada penyandang tunanetra.

IV.C.2. Penyandang Tunanetra Peluang mitra Gereja dalam Misi Yesus

Penyandang tunanetra yang telah melihat serta menyadari dirinya sebagai ciptaan Allah dan telah memberikan nilai positif terhadap ketunanetraannya, mereka memiliki tujuan hidup dengan satu prinsip, sekalipun memiliki fisik yang tidak melihat, mereka tettap penyandang gambar dan rupa Allah. Hal itu telah memotivasi kaum tunanetra untuk senantiasa diperbaharui dalam hubungannya dengan Kristus yang diujudkan pada persekutuan-persekutuan yang ada baik dalam jemaat juga persekutuan yang lain seperti dimasyarakat luas.Telah banyak diantara penyandang tunanetra yang telah menyandang gelar sarjana Teologi dan sarjana-sarjana displin ilmu lain sperti sarjana Pendidikan, sarjana hukum, dan sebagainya dan masih banyak mereka yang sedang duduk dibangku kuliah. Tetapi ternyata mereka kandas ketika mereka belum dapat diterima gereja serta intansi lain dalam struktur organisasi dan akhirnya kembali menekuni massage. Memang ada diantara mereka yang terus melakukan pelayanan secara mandiri tanpa terkait organisasi gereja. Dalam arti yang lebih luas, semestinya gereja sebagai lembaga rohani dan social menangkap peluang-peluang tersebut dalam pengembangan misi dan visi Allah yang besar dimuka bumi ini.

IV.C.3. Kehadiran Penyandang Tunanetra Dalam Tugas dan Fungsi Gereja

            Pada dasarnya misi atau tugas gereja meliputi dua fungsi, yaitu fungsi kedalam (pelayanannya memelihara pertumbuhan kehidupan rohani para anggota jemaat) dan fungsi keluar (pelayanannya terhadap dunia luar).
Fungsi kedalam. Setiap gereja merupakan suatu persekutuan yang berkumpul bersama untuk menyembah Allah. Gereja terdiri dari seluruh keluarga Allah yang berkumpul untuk bersekutu (koinonia) dalam persekutuan dengan semua orang percaya apapun kondisi mereka, tetapi mereka adalah sesama yang bersaudara saling mengasihi dan membantu bagi terujudnya perkembangan jemaat tuhan. Semua orang percaya wajib dibangun dalam iman yang benar, melalui pelajaran yang benar dan sakramen-sakramen gereja, bagi tercapainya tujuan bersama, yaitu “menjadi” srupa dengan Kristus. Sebab itu jemaat harus dilengkapi untuk dapat hidup benar dan setia melakukan kewajiban-kewajibannya, baik terhadap gereja, sesama orang percaya, maupun terhadap tugas diluar gereja.
Fungsi keluar. Fungsi ini mencakup baik tugas pemberitaan Injil (kerygma) maupun pelayanan social (diakonia). Adapun tugas pelayanan social merupakan pelayanan dibawah tugas pemberitaan Injil yang tidak dapat dipisahkan dari tugas pemberitaan Injil karena tugas utama gereja adalah menginjili dunia. Penginjilan adalah usaha memberitakan kabar maha baik tentang Yesus Kristus, yang melalui kematian dan kebangkitan-Nya, menebus dosa umat manusia, sehingga mereka yang mau percaya dan menerima-Nya sebagai Tuhan dan juru selamat memperoleh pengampunan Allah dan kehidupan kekal. Dalam dua tugas dan fungsi gereja tersebut penyandang tunanetra bisa diikut sertakan secara cerdas dan berkwalitas. Dengan memiliki pengetahuan Teologi yang telah diterima diseminari, merupakan tugas gereja untuk mempersiapkannya menjadi pekerja-pekerja yang tangguh, mendorong dan membina serta melatih penyandang tunanetra untuk rela berkorban dalam penderitaannya. Jadi pada prinsipnya,, bahwa gereja harus memakai semua peluang serta kesempatan pada setiap orang percaya tanpa membeda-bedakan, apakah itu sehat secara jasmani-cacat tubuh, miskin-kaya, terhormat-tidak terhormat, hendaklah semua dipandang atas anugerah Allah dalam penebusan Yesus. Kemauan gereja dalam berbagai peluang serta kesempatan yang demikian, akan memampukan gereja berintegrasi pada semua orang khususnya terhadap penyandang tunanetra untuk melakukan pelayanan dimasyarakat. Secara etika Kristen dan benar untuk mencapai tugas fungsi-fungsi gereja diseluruh bumi. Bila telah terujud hal yang demikian itu maka gereja sudah terbuka, dinamis, teologis, pada situasi perkembangan dimasyarakat dengan sikap yang positif, kritis, kreatif, dan realita, (Rom. 1:14; 12A:1-2; I Korintus. 9:19-23)

IV.D. Prisnsip Strategis dalam Membangun Citra Diri Tunanetra

            Sebagaimana manusia yang sehat lainnya, dimana mereka membutuhkan pemulihan citra dirinya yang akan memberi pengaruh pada hidup dimasa-masa berikut. Dengan demikian, penyandang tunanetra dalam hidupnya. Dalam pemulihan gambar diri penyandang tunanetra harus dilakukan pada dua sudut pandang yaitu pada diri penyandang tunanetra tersebut (internal) dan dari luar dirinya sendiri (eksternal). Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan karena dua-duanya saling mempengaruhi serta menghasilkan penilaian terhadap individu tunanetra. Dari sudut pandang internal ialah ketika telah sanggup menerima ketunanetraan dengan segala akibat yang ditimbulkan dan menyadari bahwa Allah campur tangan dalam berbagai apapun juga yang dialami oleh setiap manusia. Sedangkan dari sudut pandang eksternal merupakan alat bantu untuk bisa maksimal memberdayakan serta hasil yang dicapai.
            Oleh sebab itulah juga dalam pemulihan gambar diri penyandang tunanetra akan lebih tepat bila keduanya dirujuk dalam pertimbangan sebuah program yang kongkrit dan realistis.

IV.D.1. Beberapa Pengaruh Negatif Panti Penampungan bagi Tunanetra dan Keluarga

            Pandangan banyak orang, bahwa program yang baik bagi penyandang tunanetra adalah membangun panti-panti asuhan (panti penampungan) dan juga sekolah-sekolah luar biasa akan dapat memberikan solusi bagi mereka. Hal itu mungkin relefan tahun-tahun yang silam. Akan tetapi pada era yang sedang berjalan sekarang terkesan bahwa hal tersebut tidak relefan lagi dan juga merupakan pemborosan bila dilihat dari sudut pandang dana yang dipakai sebagai dana operasional. Hal ini dilandaskan pada telah hadirnya sekolah-sekolah umum dari tingkat taman Kanak-kanak, sampai tingkat SLTA diseluruh penjuru pelosok Indonesia yang bisa diakses oleh semua masyarakat dengan mudah. Dalam hal ini yang penting adalah bagaimana lembaga-lembaga kemanusiaan melakukan program terpadu (berintegrasi) dalam pendidikan dan juga akses kesempatan kerja dipemerintah, suasta juga pada bidang-bidang yang lain. Disamping itu ketika mereka dikmpulkan atau ditampung pada sebuah panti penampungan dan dicukupkan akan apa yang mereka makan, minum, akan apa yang mereka pakai, cenderung membuat penyandang tunanetra terisolir dan paradigma masyarakat pun tidak akan berparadigma positif. Sekali lagi bahwa pembangunan manusianya tidak tampak disini, dimana mereka akan terus menjadi obyek tidak menjadi subyek seperti yang sudah disinggung diatas (bab IV.1) Justru dalam tindakan Yesus terhadap mereka yang tunanetra untuk tidak lagi “menjadi” penghuni peta-peta pengamen, peta  belas kasihan dipenampungan, tetapi “menjadi” peta-peta kerja. Selain dari pada itu, orangtua dan keluarga terkesan mengelak dari tanggung jawab terhadap anak yang dilahirkan dengan fisik yang tidak sempurna dan ketika penyandang tunanetra menyadari hal itu mereka akan merasa ditolak dan dibuang. [60]

IV.D.2. Sikap Diskriminasi Terhadap Penyandang tunanetra

            Memang telah banyak para tunanetra bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) tetapi mereka diperkerjakan dibeberapa sekolah-sekolah luar biasa dan dalam hal ini pun masih terasa adanya diskriminasi dalam penerimaan tenaga kerja bagi penyandang tunanetra. Masalah yang timbul ialah seberapa banyak jumlah sekolah-sekolah luar biasa dibangun untuk menampung mereka sebagai tenaga pengajar? Sementara kemauan penyandang tunanetra terus maju baik dalam bidang pendidikan untuk meraih tatanan hidup yang lebih baik. Sudah saatnya pemerintah, lembaga suasta termasuk gereja sebagai organisasi rohani dan social bertindak sesuai dengan undang-undang  No. 4 tahun 1997, tentang penyandang cacat dan Peraturan Pemerintah  No. 43 tahun 1998, tentang upaya peningkatan kesejahteraan social penyandang cacat. Dengan UU. Dan PP. tersebut penyandang tunanetra dapat dengan leluasa mengekpresikan potensi dan jati dirinya dalam segala aspek kehidupan sesuai tingkat kemampuan, bakat dan minat yang dimiliki. [61] namun demikian sebagai gereja sudah harus berada digarda depan tanpa Undang-undang dan peraturan Pemerintah sebab dalam segala perbuatan, tindakan dan keputusan berpatokan pada perbuatan serta perkataan Yesus yang hikmat dan bijaksana itu. Dari pada itu lembaga gereja sebagai lembaga yang misionaris dapat meninjau ulang kembali program-program yang tidak lagi relefan diera sekarang sesuai dengan berbagai kemauan diberbagai bidang. Salah satu dalam peraturan  pemerintah, gereja dan lembaga social lainnya bagi seseorang untuk dapat diterima sebagai tenaga kerja bilamana orang  tersebut “sehat jasmani dan rohani.” Seharusnya pengertian “sehat jasmani dan rohani” tidak berhubungan dengan “fisik yang cacat,” sebab mereka yang memiliki “tubuh yang cacat ternyata sehat dan rohaninya pun sehat,” sehat jasmani seharusnya dirumuskan dari segi penyakit berjangkit dan sejenisnya yang dapat menular, atau penyakit yang serius, sedangkan sehat rohani berhubungan dengan “sehat jiwa, mental” dan sebagainya. Tentang “hal sehat jasmani dan rohani” ini pun masih dapat mendeskritkan penyandang tunanetra untuk lebih dapat berkiprah atas karunia yang diberikan Tuhan. Dengan alasan peraturan tersebut telah menggagalkan penulis memperoleh  pekerjaan sebagai pelayan disalah satu didominasi gereja. Namun juga Tuhan telah memberikan sikap berani pada satu dedominasi gereja di Indonesia menerima penulis secara struktural dan memberikan hak yang sama dengan hamba Tuhan yang melihat.

IV.E. Lembaga yang dapat sebagai sarana pendidikan sehingga dapat mandiri

            Pendidikan merupakan sarana penting bagi setiap orang. Pendidikan itu sendiri akan mempengaruhi keadaan manusia karah yang lebih baik seperti: manusia memiliki pengetahuan, berhikmat dan bijaksana, dan hal tersebut memampukan manusia berkembang sehingga derajat hidupnyapun tentu saja bermartabat, dengan pendidikan juga cakrawala pemikiran manusia dan membawanya terhadap segala hidup yang bertumbuh antara manusia dengan sesamanya, mengelolah segala sewsuatu dalam rangka kelangsungan hidup, membuat manusia dewasa dalam semua tindakan kehidupan serta tujuan semuanya itu agar manusia dapat amdiri.Penyandang tunanetrapun demikianlah halnya,  Mereka juga membutuhkan pendidikan sebagai sarana untuk bisa memberi pengaruh dalam hidup yang dijalani.

IV.E.1. Tujuan Pendidikan Bagi Tunanetra

            Tindakan yang dilakukan Yesus terhadap penyandang tunanetra (Mat. 9:29,20:34; Mar. 8:25, 10:32; Luk. 18:43; Yoh. 9:3) pada hekekatnya adalah supaya mereka dapat mandiri. Satu cara supaya mereka tidak menjadi tergantung pada pemberian orang lain ialah  dengan menyembuhkannya dari kebutaan mereka dan tindakan tersebut juga menyatakan bahwa hanya percaya dan melakukan kehendak Dia manusia dapat mandiri oleh anugerah-Nya yang besar. Apa yang sudah dilakukan Yesus pada penyandang tunanetra masih tetap senantiasa berlangsung pada zaman ini dan dimasa yang akan datang. Sekalipun tidak kita saksikan lagi penyembuhan spektakuler era sekarang, akan tetapi justru Tuhan mengadakan muzijat yang lebih besar karena didalam fisik yang tidak sempurna atau tidak lengkap karya-Nya dinyatakan. Oleh sebab itulah perkembangan ilmu pengetahuan boleh ada untuk dapat menjangkau penyandang tunanetra. Jadi muzijat tidak hanya dipahami dan diyakini ketika “mata buta melihat,, telinga tuli mendengar, mulut bisu berbicara, orang lumpuh berjalan, air menjadi anggur, orang mati dibangkitkan,” tetapi “tangan satu dapat melakukan pekerjaan yang dihasilkan dengan dua tangan, mata yang buta boleh melakukan pekerjaan mata yang melihat, telinga yang tuli dapat menghasilkan karya orang yang sehat pendengaran, orang lumpuh dapat menjangkau apa yang dijangkau orang yang tidak lumpuh,” dan lain sebagainya. Inilah yang sedang terjadi dalam perjalanan dunia sekarang dalam segala perkembangan dan perubahan serta tantangan. Didalam buku “PEMIMPIN YANG SEDANG DIBENTUK” disebutkan bahwa “ada banyak orang yang memiliki potensi yang sungguh luar biasa, akan tetapi mereka membutuhkan orang lain untuk bisa melakukan sesuatu dan bekerja sama  dengan mereka tanpa  menyerah terhadap keadaan yang dialami mereka sendiri.” Kita bahagia bahwa allah sendiri tidak pernah menyerah pada keadaan yang dialami oleh manusia, kadang-kadang  “orang yang kita anggap menjadi masalah dalam hidup kita, justru merupakan orang yang Allah izinkan agar manusia bersabar dan membantu mereka untuk berkembang, seperti halnya Allah bersabar terhadap kita dan senantiasa menolong  kita untuk terus berkembang menjadi apa saja sesuai dengan potensi yang dimiliki.”[62]  Untuk tujuan pengembangan potensi yang dimiliki penyandang tunanetra tersebutlah perlunya kehadiran lembaga-lembaga pendidikan hingga potensi yang dimiliki berfungsi maksimal.

IV.E.2. Tiga Lembaga Penting Bagi Pengembangan Tunanetra

Untuk mencapai tujuan tersebutm maka diperlukan tiga lembaga yang langsung berhubungan dengan hidup tunanetra yang meliputi hidup spiritual, moral dan pengembangan pengetahuan yang dibutuhkan. Lembaga pendidikan tersebut adalah:

(i). Lembaga Gereja

            Gereja sebagai lembaga pendidikan spiritual untuk menguatkan mental serta memupuk iman yang bertumbuh serta aktif. Gereja dapat memainkan peranannya untuk terus mendampingi dengan mengadakan perkunjungan kepada kaum tunanetra.
Gereja mempunyai tugas penting dalam pelayanan terhadap penyandang tunanetra dan tugas pelayanan tersebut haruslah  ditunaikan secara  berkesambungan serta kongkrit. Sehubungan tugas gereja terhadap penyandang tunanetra dilakukan dengan apa yang mereka butuhkan.
Yang mereka butuhkan adalah tindakan  pelayanan yang memberikan pengertian serta dapat memimpin mereka kepada Allah didalam Kristus dan mereka mengimani bahwa Kristus selalu menyertai ditengah penderitaan yang mereka sandang, dan tujuan yang akan dicapai adalah mereka dapat menerima keadaan sebagai tunanetra serta memiliki kemauan bertemu dengan bercakap- cakap dengan Tuhan tentang keadaannya. Sampai pada keadaan dimana mereka berdamai terhadap ketunanetraan yang disandang akan menghantar iman mereka bahwa ketunanetraan adalah sebagai sesuatu yang memperkaya hidupnya. Suatu hal yang perlu diingat dalam melayani tunanetra haruslah  dilakukan seperti pelayanan  kepada manusia biasa (tidak cacat),dalam arti pelayanan tidak dibeda-bedakan, sebab pelayanan yang  dilakukan bukan dilihat sebagai  tunanetra,tapi dilihat dari sudut pandang  Allah.[63]     

(ii). Lembaga keluarga

            Lingkungan keluarga merupakan lingkungan penting terhadap pembentukan gambar diri penyandang tunanetra. Sehubungan dengan itu lingkungan keluarga harus dapat bersikap, bertindak dan berpikir positif bilamana ketunanetraan terjadi pada salah seorang anggota keluarga. Kehadiran penyandang tunanetra ditengah-tengah lingkungan keluarga biasanya menimbulkan kesedihan yang mendalam, semangat hidup lemah, bahkan dianggap menambah kepahitan hidup keluarga, merasa terhina bilamana lingkungan masyarakat memperbincangkan ketunanetraan karena dianggap “kutukan” dan juga bila sekelompok orang mentertawakan keadaan tunanetra tersebbut ketika ia berjalan dengan memakai tongkat atau juga ketika berjalan dengan pandangan yang kosong dimana penyandang tunanetra tidak memainkan gerakan bola mata atau menoleh kiri dan kanan. Kecenderungan yang timbul bagi keluarga adalah “emosi, marah, dan bahkan menolak percaya akan tuhan.” Sikap lain yang sering diperlihatkan keluarga ialah penyandang tunanetra sisihkan, tidak disukai, dianggap tidak berguna karena menurut keluarga tidak “produktif” karena tidak dapat melakukan sesuatu pekerjaan dan akhirnya dibiarkan begitu saja.
            Penyandang tunanetra tidak perlu dihalang-halangi terhadap apa yang dapat dilakukan, tetapi biarkan saja dilakukan apa yang bisa dilakukan seperti “merawat diri, seperti mandi memakai pakaian sendiri, menyisir rambut, mencuci pakaian sendiri, merapikan tempat tidur sendiri. Selain itu, tunanetra juga bisa melakukan pelerjaan didapur seperti memasak, mencuci piring atau juga mengurus rumah dan sebagainya. Tetapi biasanya sikap yang terjadi ketika penyandang tunanetra melakukan sesuatu dilingkungan rumah dan sekitarnya, lahirnya emosi tak percaya terhadap apa yang dilakukan, memang satu, dua kali tunanetra melakukan kesalahan, tetapi akan selalu mengulang-ulang sehingga penyandang tunanetra memperoleh keyakinan bahwa ia bisa melakukan seterusnya. Dalam hal ini, keluarga hanya membutuhkan waktu sedikit saja yaitu kesabaran ketika tunanetra belajar membenahi dirinya sampai ia dapat berhasil sendiri melakukannya. Demikian juga pada hal-hal tertentu pada kegiatan-kegiatan yang lebih besar dari pada apa yang dilakukan sehari-hari dirumah atau diluar rumah.[64] Dengan demikian bahwa seorang penyandang tunanetra justru harus diaktifkan melakukan sesuatu dan percaya akan dapat menyelesaikannya dengan sukses.
            Keluarga yang penuh tanggung jawab adalah keluarga yang memberikan dorongan, motivasi bagi penyandang tunanetra, menumbuhkan semangat dan tidak membuat perlakukan yang berbeda antara penyandang tunanetra dengan yang anggota keluarga yang sehat atau normal didalam segala hal. Dukungan keluarga akan sangat menentukan sikap dan karakter dan percaya diri untuk bergaul dengan lingkungan sekitar. Ketika keluarga menunjukan rasa banggga yang sungguh-sungguh terhadaap diri penyandang tunanetra dan memberi harap akan berhasil, maka tunanetra pun akan sangat ingin mencapai dan mengabulkan kebanggaan dan harapan itu menjadi suatu kenyataan.

(iii). Lembaga Pendidikan umum formal dan non Formal

            Lembaga pendidikan sebagai intitusi dapat sebagai wadah mengembangkan diri pada kemampuan intlektualnya dalam sekolah-sekolah formal dan non formal dari tingkat bawah sampai keperguruan tinggi. Dalam hal ini akan sangat meningkatkan daya saing yang cukup kuat untuk menunjukan jati dirinya sebagai tunanetra. Melalui pendidikan yang ditempuh, tunanetra akan dapat mengetahui kemampuan dalam hal apa ia dapat berkembang terhadap apa yang bisa ditekuni sebagai profesi ditengah masyarakat. Untuk itu intitusi lembaga pendidikan harus memiliki kemauan memberi peluang terhadap tunanetra sejauh mereka dapat meraih keinginan guna menjadikan diri menjadi seorang yang berkapasitas. Sikap berani yang dimiliki tunanetra adalah merupakan sesuatu sikap yang harus ditanggkap oleh institusi sehingga dengan itu mereka dapat diberdayakan untuk berdiri diatas kakinya sendiri tanpa ketergantungan pada orang-orang sekitar. [65] juga tidak kalah pentingnya, tunanetra yang menempuh jalur pendidikan non formal dimana mereka dapat memperoleh ketrampilan seperti yang sudah diuraikan pada bab III, jadi berbagai pendidikan tunanetra dapat dikembangkan searah tujuan hidup penyandang tunanetra itu sendiri.
            Peranan gereja, keluarga dan dunia pendidikan baik formal dan non formal adalah merupakan barometer dalam pembentukan gambar diri penyandang tunanetra, itu pula juga yang mendasari kita bersikap terhadap penyandang tunanetra sekalipun kehadirannya diluar harapan keluarga dan juga bahkan harapan tunanetra itu sendiri. Untuk itu perlu ditanamkan sebuah pepatah Cina Kuno yang menyebutkan bahwa: “Untuk rencana setahun tanamlah padi, untuk rencana satu dasawarsa, tanamlah pohon, tetapi untuk rencana seumur hidup, didiklah anakmu!”

IV.F. Pelayanan Konseling Kepada Keluarga Yang Memiliki Anggota Keluarga Tunanetra

            Seperti yang telah disinggung pada Bab IV.2.3. “lingkungan keluarga” bahwa kehadiran ketunanetraan didalam keluarga akan menimbulkan beberapa kecenderungan. Oleh karena itu, maka sasaran pelayanan konseling kepada keluarga adalah menolong keluarga agar dapat dimampukan melihat suatu makna, arti dibalik pergumulan yang dialami dengan benar serta berdasarkan terang firman Tuhan, supaya dengan jalan tersebut melalui bimbingan konselor dapat memecahkan masalah sendiri yang tengah dihadapi, jadi pelayanan konseling yang dilakukan bertujuan menguatkan iman, mental agar segenap keluarga sanggup menerima kehadiran penyandang penyandang tunanetra dengan terang firman Tuhan serta meperlakukannya sama seperti Yesus memperlakukan tunanetra dizaman-Nya dan memandang mereka sebagai sesama manusia makhluk teologis. Upaya yang demikian akan mendorong keluarga untuk berdamai dengan kondisi tunanetra yang disandang, yang berartti senantiasa belajar menerima, memahami dan disangggupkan memberikan arti hidup didalam lingkungan keluarga dengan prinsip kebenaran firman Allah. Pencapaian tujuan tersebut menumbuhkan sikap positifterhadap tunanetra itu sendiri serta keluarganya. [66]
            Dalam masa tersebut yang diperlukan keluarga adalah sebuah sikap adabtasi yang baik terhadap penyandang keluarga juga terhadap masyarakat dilingkungan keluarga, sebuah adabtasi yang terbuka dan yang komunikatif. Terhadap lingkungan keluar tidak perlu memupuk rasa malu sebab itu akan membuat suasana sulit menerima realita yang sesungguhnya, Yang dimaksudkan komunikasi yang kominikatif adalah bagaimana cara mengkominikasikan sesuatu dengan benar dan tepat, seperti mengkominikasikan situasi rumah yang sedang dirumah posisi barang-barang diruang tamu misalnya kusrsi, meja, lemari dan sebagainya. Atau juga ketika memberikan makan seorang tunanetra dirumah atau ditempat-tempat baru yang belum dikenal keadaan setempat. Posisi makanan yang telah ditaruh diatas piring dengan memakai bahasa Jarum jam. Perlu diketahui bahwa bahasa jarum jam ini universal berlaku diseluruh dunia dimana tunanetra ada Tentu saja bahasa jarum jam ini diterima pelatihannya ketika mereka ada disekolah-sekolah atau juga dipanti-panti rehabilitasi. Sebagai contoh: Letak jenis makanan yang sudah ditaruh dipiring, seperti: sayur, laukpauk, sambal atau juga jenis makanan yang lain. Dapat dijelaskan kepada tunanetra demikian: “sayur ada pada pukul 9, ikan ada pada pukul 3, sambal ada pada pukul 12, atau bila ada jenis lain bisa diletakan pada posisi pada poros jarum jam berputar. Sedangkan makanan lain se;perti sup, ada pada mangkuk yang diletakan sebelah kiri atau kanan piring yang telah ada dihadapan tunanetra.” Hendaknya bila ada perubahan suatu barang disebuah ruangan baik diinformasikan dengan kata-kata atau bila mungkin dirabakan sehingga posisi ruangan yang sedang diubah bentuknya dapat tergambar dengan jelas pada perasaan dan pkirannya. Dengan keterangan yang demikian ini, memudahkan penyandang tunanetra makan dengan teratur dan baik, demikian juga terhadap ruangan seperti yang telah dijelaskan diatas.[67]  

IV.G. Pembentukan Konselor yang  tunanetra terhadap Penyandang Tunanetra sehingga lebih akurat

            Pelayanan konseling ketunanetraan yang dilakukan oleh sesama tunanetra merupakan pendekatan yang lebih dapat memahami persoalan serta pergumulan yang dialami. Konseling ketunanetraan adalah sebuah layanan yang diselenggarakan guna membantu pemulihan keseimbangan psikologis, keseimbangan mental, serta keseimbangan sosioemosional terhadap yang tunanetra secara khusus kepada tunanetra yang baru mengalami kebutaan. Pelayanan konseling dimaksudkan untuk menolong penyandang tunanetra mengatasi berbagai permasalahan psikoligis dan sosioemosional yang dihadapi dalam hidup sehari-hari.

IV.G.1. Fungsi Pelayanan Konseling yang dilakukan konselor tunanetra terhadap tunanetra

            Pelayanan yang dilakukan konseling yang dilakukan oleh konselor yang tunanetra terhadap tunanetra adalah berfungsi sebagai berikut:
1.      Pemberian informasi yang berhubungan dengan ketunanetraan yang meliputi, masalah-masalah yang dihadapi serta cara mengatasi masalah tersebut, hal-hal yang bisa dilakukan tunanetra sehubungan dengan ketunanetraannya, serta menginformasikan bagaimana segala keterbatasan yang ditibulkan oleh kebutaan mempunyai solusi dengan perkembangan tehnologi dizaman sekarang. Selain itu menginformasikan beberapa profesi yang dapat ditekuni oleh seorang tunanetra untuk dapat mengfungsikan diri sebagai bagian masyarakat dan kelangsungan hidup.
2.      Memberikan pelayanan konseling terhadap klien dan keluarga sehingga kedua-duanya merupakan satu sinergi yang kuat ketika tunanetra dan keluarga dapat sama-sama belajar untuk memahami akibat-akibat yang ditimbulkan ketunanetraan itu sendiri. Selain itu juga memberikan pemahaman terhadap keluarga bahwa untuk seorang tunanetra dibutuhkan waktu untuk bisa menyesuaikan keadaan antara keluarga dengan penyandang tunanetra.
3.      Sebagai wadah konsultasi dalam bidang pendidikan dan karir
4.      Untuk dapat menyalurkan penyandang tunanetra kesekolah-sekolah dan panti-panti rehabilitasi sebagai tindak lanjut pelayanan yang sudah dilakukan sehingga pelayanan yang telah dilakukan dapat berkesinambungan hingga mencapai kemandirian penyandang tunanetra itu sendiri.
5.      Menumbuhkan dan mendorong semangat untuk berusaha dengan senantiasa melakukan aktifitas ditengah-tengah keterbattasan yang ada.
Sama seperti tujuan pastoral yang telah disebutkan pada poin 4 bab ini, bahwa konseling yang dilakukan oleh konselor penyandang tunanetra adalah untuk membantu penyandang tunanetra serta keluarga bisa mampu memahami dengan benar akan keberadaannya didalam hidup sebagai ciptaan Allah didalam anugerah Yesus Kristus.

IV.G.2. Konsep Peer Counseling For the Blind dan Kelebihannya

Layanan konselor dengan sesama penyandang tunanetra adalah sebuah penetrapan konsep “peer counseling” yaitu layanan konseling yang diberikan oleh sesama tunanetra, konsep sejenis ini disebut “peer counseling for the blind.” Kelebuhan konsep “peer Counseling for the blind” konselor dapat lebih berempati terhadap kliennya yang itu penyandang tunanetra serta keluarga karena konselor sendiri adalah tunanetra. Sedangkan jika penyandang tunanetra menyampaikan masalah yang dihadapi kepada konselor yang bukan tunanetra akan timbul kesulitan dimana sang konselor tidak bisa sepenuhnya memahami kliennya. Konsep tersebut juga sekaligus berfungsi sebagai contoh atau “role model” yang riel terhadap klien tunanetranya atau keluarga.
      Penyandang tunanetra yang mampu menjalani profesi sebagai konselor terhadap sesama tunanetra, berarti tunanetra tersebut sudah mampu melewati masa-masa sulit yang dihadapinya, telah mampu menemukan cara untuk mengatasi dan menghadapi kesulitan  yang pernah dihadapi. Dengan demikian, saat konselor tunanetra menjalankan tugasnya sebagai konselor ia akan mengerti dan memahami benar apa yang dirasakan kliennya, dapat memberikan jalan keluar alternative, secara bertahap dapat melakukan pendampingan agar mampu menjadi “problem solver” untuk diri mereka sendiri, dan tidak tergantung pada sang konselor. Sehubungan dengan konsep pelayanan “peer counseling for the blind” akan menumbuhkan sikap positif dan beberapa cara dapat dilakukan untuk menumbuhkan sikap positif antara lain :
1.      Memberikan informasi yang benar tentang tunanetra
2.      Menceritakan atau meperkenalkan tunanetra dan keluarganya dengan figure-figur tunanetra yang sudah berhasil, dalaml hal ini sang konselor bisa menjadi salah satu bukti kongkrit bahwa tunanetra juga dapat memiliki masa depan yang baik. Cara kedua ini bisa dilakukan dengan kelompok tunanetra dan mereka saling berbagi memberikan solusi yang kongkrit pada tunanetra atau keluarga bagaimana mengatasi kesulitan yang dihadapi.[68]   Pemberian semangat sangat penting pada saat konseling berlangsung yang bersumber pada firman Tuhan. Dorongan semangat terdapat pada hubungan konselor dan kien dengan Kristus Kata-kata untuk dorongan semangat adalah bahwa “Aku tidak menghukum kamu, Aku mengampunimu, Aku mengasihimu, dan Aku menghendaki kamu mengambil bagian dalam melaksanakan rencana kekalKu” yaitu memberitakan kabar baik tentang kasih allah dan tentang kesediaan-Nya menerima setiap orang sebagaimana adanya. Dalam hal ini kasih Allah yang sempurna akan melenyapkan kelemahan, frustasi, ketakutan dan kekwatiran akan masa depan. Orang-orang akan memperoleh dorongan semangat bilamana perasaan takut dapat dijangkau melalui keperduliaan dan kepekaan konselor dan dilembutkan oleh kasih. Pelayanan dorongan semangat ialah menyampaikan kata-kata yang timbul oleh adanya kasih dan diarahkan pada situasi yang sedang terjadi.[69]

IV.H. Penyandang Tunanetra bukan Obyek Tetapi Subyek

            Tunanetra bukan obyek tetapi subyek, subjudul ini   menyatakan bahwa tunanetra harus  dipandang dari kemanusiaannya bukan dari ketunanetraannya sendiri. Hal ini perlu karena cara pandang yang dipakai akan berpengaruh terhadap sikap dan tindakan yang dilakukan. Tunanetra sama seperti manusia pada umumnya, mereka  memiliki pandangan hidup, memiliki cita-cita, memiliki kewajuban dan tanggung jawab, memiliki keinginan dan juga hak yang sama.

IV.H.1. Pekerjaan Allah dinyatakan Pada Diri Tunanetra

            Allah menghendaki supaya manusia hidup menjadi subyek, artinya bahwa sebagai pribadi yang berbicara dan bertindak, sedangkan percaya laksana hubungan antara dua pribadi yaitu antara allah dan manusia. Jadi bila menjadi manusia yang sesungguhnya adalah mendengarkan firman-Nya serta memberi jawab, demikian manusia itu sungguh-sungguh dapat sebagai subyek, sebagai pribadi yang hidup beserta Allah. Perkataan Yesus yang menyebutkan, “supaya pekerjaan Allah dinyatakan didalam Dia” ungkapan ini menempatkan orang buta sejak lahirnya pada hakekat kehadiran Yesus dalam dunia. Yesus dengan hikmat yang maha tinggi menghendaki agar orang tersebut tidak  “menjadi obyek” belas kasihan serta tidak bergantung pada keluarga dan masyarakat, tetapi orang buta itu digeser “menjadi subyek”. Ketaattan yang ditunjukannya atas perintah Yesus telah merubah statusnya itu dari “pengemis” menjadi “saksi” bagi tindakan Kristus yang telah dialaminya. Yesus melakukan hal itu karena Yesus sebagai manusia memandang “pengemis” itu sebagai sesama yang harus ditolong dan dipulihkan dari keadaannya yang lama menjadi keadaan yang baru seperti semula didalam Kristus.[70]

IV.H.2. Iman yang Hidup dan Yesus Bertindak

            Kristus mendorong Bartimeus untuk senantiasa berharap agar memperoleh belas kasihan Kristus. Karena itu Yesus berhenti dan memanggil Bartimeus, Bartimeus segera melakukan yang terbaik bagi dirinya, ia tinggalkan jubah pengemisnya dan bergegas menjumpai Yesus. Kebaikan khusus yang dimohonkan Bartimeus ialah supaya matanya bisa melihat sehingga dapat bekerja menafkahi hidupnya dan tidak lagi menjadi beban bagi orang sekitar, kebaikan yang diminta telah diperoleh. Dua hal yang perlu dalam peristiwa tersebut yaitu:
1.      Kristus membuat bartimeus menerima kebaikan ganda dengan menaruh kehormatan atas iman terhadap “anak Daud” dan mendapatkan belas kasihan dan kuasa Kristus, pertolongan yang paling menghibur ialah datang dari “iman.”
2.      Kristus membuat bartimeus memperoleh kebaikan ganda ketika orang tersebut bisa melihat, ia langsung mengikuti Yesus dalam perjalanan Kristus. Dengan ini orang tersebut menunjukan bahwa telah dipulihkan, ia tidak lagi membutuhkan orang lain untuk membantunya karena sudah mampu berjalan sendiri dan dengan ini sudah membuktikan bersyukurnya atas anugerah Kristus.[71]  Perbuatan Kristus terhadap orang buta adalah tindakan nyata untuk bmengangkat harkat dan martabat dari status yang rendah kedalam anugerah Allah. Hakekat allah dinyatakan pada peristiwa itu. Fokus utama tindakan Kristus ialah supaya mereka dapat kembali membangun hidup tanpa sorotan negatif atas keberadaannya sebagai manusia. Senada dengan karya Kristus, maka gereja, pemerintah, dan masyarakat Kristiani hendaklah pandangan terhadap tunanetra menurut hakekat kemanusiaan bukan hakekat kecacatan fisik yang disandang. Ketika pandangan berdasar pada ketunanetraan akan mempengaruhi percaya diri untuk berbuat sesuatu pada mereka dengan rasa ibah yang akhirnya telah menjadikannya sebagai obyek belas kasihan. Itulah sebabnya sebagian lembaga-lembaga social pencari derma menjadikan mereka umpan untuk mendapatkan dana-dana yang besar, sedangkan hal itu tidak mendattangkan kebaikan bagi semua pihak, tunanetra menjadi “manja” dan pencari derma memiliki “kebanggaan yang semu.” Oleh karena itu cara pandang haruslah berdasar pada kemanusiaan yang “seutuhnya.”
Mereka membutuhkan pertolongan dan hal tersebut akan diperoleh dari semua pihak seperti keluarga, masyarakat, pemerintah, serta gereja. Memang harus disadari dengan benar dan jujur, bahwa banyak masyarakat belum tahu bagaimana mmenolong mereka dengan benar dan tepat. Dalaml hal ini Lembaga tertentu seperti gereja melakukan pelayanan terpadu terhadap lembaga yang terkait dan juga memberdayakan tunanetra yang sudah menikmati hidup sebagai subyek ditengah-tengah masyarakat.

IV.I. Ketunanetraan Adalah bagian Alat Penyataan dalam Kuasa Allah

            Pada Bab IV.H.2. telah dijelaskan bagaimana Yesus mendorong seorang buta pengemis untuk tergantung sepenuhnya pada belas kasihan Kristus. Ketunanetraan itu telah dijadikan Kristus menyatakan kuasaNya ketika iman orang tersebut hidup. Manifestasi kuasa Allah terjadi dengan dasyat dan mengubah hidup menjadi kemuliaan bagi tuhan Oleh karena itu, semua pihak harus berkeyakinan bahwa dalam setiap keadaan manusia terdapat rencana Tuhan yang mengagumkan, prinsip ini sulit, tetapi akan menjadi mudah dimengerti bila menyadari hidup bukanlah milik manusia itu sendiri melainkan turut didalamnya campur tangan pencipta umat manusia. Beberapa bagian akan penulis uraikan bagaimana kuasa Tuhan dinyatakan dalam penderitaan.

IV.I.1. Ketunanetraan Alat berharga Bagi Kuasa Allah

            Perjalanan yang dilakukan manusia melintasi malam yang gelap bukanlah harus merupakan suatu penderitaan dan kegelisahan manusia. Didalamnya terdapat sebuah pengharapan akan transformasi dan pembaharuan melalui kuasa allah. Penderitaan dan situasi sulit adalah  satu alat yang berharga yang digunakan guna membangun karakter yang sehat didalam setiap manusia. kondisi-kondisi yang sifatnya drastis dan terkadang menghancurkan atau ketika pengalaman-pengalaman menyerah pada Tuhan menyebabkan keberadaan dan karakter seorang ditransformasikan untuk memanifestasikan kuasa Roh Kudus.
            Intusi manusia kita mungkin memberi kesimpulan bahwa segala kesulitan dan tekanan kehidupan berada jauh melebihi kemampuan manusia untuk menahannya. Paulus memberi dorongan:
“Sebab itu kami tidak tawar hati, tetapi meskipun manusia lahiriah kami semakin merosot, namun manusia batiniah kami dibaharui dari hari demi  hari.” (II Kor. 4:16).
            Bila dibandingkan dengan kemuliaan kekal yang akan kita lewati bersama Allah, penderitaan kita adalah brsifat sesaat. Penderitaan akan berlalu. Firman Allah meyakinkan kita bahwa “yang kelihatan (materi) adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan (rohani) adalah kekal.” Oleh karena itu, Paulus mendorong orang-orang percaya untuk tidak melihat pada apa yang kelihatan tettapi, pada apa yang tak kelihatan. Apa yang dilihat” oleh manusia batiniah melebihi apa yang dilihat oleh mata jasmani. Jadi segala peristiwa yang dialami manusia merupakan sebuah alat yang cukup berharga seperti ketunanetraan menyatakan kehendak Allah sesuai maksud didalam rencana-Nya sendiri.

IV.I.2. Allah Mengerti Akan Penderitaan Manusia

            Dengan hikmat-Nya yang sorgawi Yesus Kristus mengerti dengan benar akan pergumulan yang dialami manusia, sebab itu Kristus peduli dan mengambil bagian dalam persoalan manusia. Pengharapan akan kesembuhan dan rikonsiliasi dattang dari karya pengubahan Yesus Kristus. Kristus yang adalah Firman yang kekal, dating ke bumi sebagai manusia, dengan melakukan itu, Dia bukanlah sekedar tampak seperti manusia melainkan sungguh manusia. Akan tetapi Kristus pada waktu menjadi manusia tidak berubah. Dia mengenakan bagi diri-Nya wujud manusia namun bukan manusia yang penuh dosa dan kelemahan, Dia menundukan diri-Nya pada kesusahan dan penderitaan manusia. Firman allah senantiasa meyakinkan kita “sebab Imam besar yang kita punya, bukanlah Imam besar yang tidak dapat turut merasakan kelemahan-kelemahan kita, sebaliknya sama dengan kita, Dia telah dicobai, hanya tidak berbuat dosa. Sebab oleh karena Dia sendiri telah menderita karena pencobaan, maka Dia dapat menolong mereka yang dicobai.” (Ibr. 4:15; 2:18).
            Tuhan yang sepenuhnya mengalami dan menolak pencobaan, mengetahui kekuatan dari pencobaan itu. Dia mengetahui keretanan manusia terhadap segala pencobaan dan segala bentuk godaan. Dengan demikian Dia memiliki kemampuan yang luar biasa untuk menyattakan belas kasihan dan pengertian, yang lebih besar dari pada yang dapat ditunjukan oleh orang berdosa terhadap orang berdosa lainnya.Yang pasti adalah Tuhan kita Yesus Kristus adalah Tuhan yang penuh rahmat dan setia terhadap semua orang yang brseru pada-Nya.

IV.I.3. Janji kekuatan Tuhan dalam Penderitaan

            Didalam hidup yang senantiasa penuh dengan pergumulan dan penderitaan secara khusus terhadap tunanetra,bahwa Yesus siap sedia menolong umat-Nya! Karena Yesus sendiri sudah mengalahkan segala sesuatu bentuk musuh manusia termasuk penderitaan yang disebabkan berbagai bentuk-bentuk sebab. Oleh karena itu Dia sanggup memberi kita pertolongan yang kita butuhkan untuk mengatasi segala pergumulan. Firman-Nya terus menerus memberi kesaksian bahwa Allah sendiri akan menyertai kita, Dia berjanji akan memberikan kekuatan, hikmat dan kasih karunia kepada orang yang tetap berharap dan bersandar serta bergantung sepenuhnya kepada Tuhan Allah, sehingga sanggup untuk menanggung beban-beban kehidupan. Tak ada satupun ayat dalam alkitab yang menjanjikan bahwa kita dapat terlindung sepenuhnya dari segala kesulitan, jika kita mempunyai iman. Namun kepada kita telah dijanjikan akan kekuatan dari penyertaan-Nya sehingga kita dapat berdiri melampoi situasi sulit yang diakibatkan apapun termasuk kebutaan. Paulus mengajar setiap orang untuk selalu berharap kepada Allah,”Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam KristusYesus.” Flp. 4:19. Kekuatan Paulus adalah mempercayai bahwa Allah akan menyediakan semua keperluannya melalui Kristus Yesus. Menunjukan bahwa hanya Kristus yang dapat melakukan itu kepada kita. Dia dapat melakukannya karena Dia menjadi manusia, menderita, dan mati untuk dosa-dosa manusia.

IV.I.4. Kekuatan Dalam Ketunanetraan Sekalipun  Ditolak

            Rasa tertolak sering kali menjadi emosi yang menghambat perkembangan individu didalam hidup. Itu merupakan cacat psikologis yang membuat kita memiliki gambar diri negatif. Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa diciptakan segambar dengan Allah. Setiap karakkteristik dasar dari fisik dirancang oleh Allah dan dibangun sesuai dengan rencana-Nya. Secara Indah dan terperinci kita dirancang untuk tujuan-Nya yang spesifik. Dengan demikian juga, penyandang tunanetra harus mampu mengakui siapa dirinya dan apa yang sedang dijalani dan berusaha untuk bertahan dan bertekun. Penilaian diri atas kelemahan kita merupakan latihan yang penting. Karena itu penyandang tunanetra dapat berkata: “guratan cacat fisik yang disandang adalah merupakan alat berharga dan tanda dari hidup yang sedang dibentuk dan pelayanan yang tengah dilakukan, itu adalah merupakan bukti keotentikan kasih Allah.” Ketika kita bersedia mengakui kelemahan atau situasi yang tak terubahkan, maka kita dapat menyertakan makna yang baru pada “kerusakan-kerusakan” yang telah lama disandang.[72] Dari pada itu penyandang tunanetra dan kita semua sangat perlu menyadari bahwa penderitaan yang telah melekat (cacat fisik) merupakan tanda dari Tuhan bagi kita dan juga merupakan pesan yang mulia dan berarti bahwa Tuhan ingin mengerjakan sesuatu didalam kehidupan ini. Penderitaan juga harus dipandang sebagai inisyatif allah yang akan membawa kita kepada-Nya sehingga Dia menolong kita, karena itu segala kegagalan dan luka-luka batin, segala penolakan oleh karena cacat yang dialami akan menjadi sebuah kunci guna mengetahui apa yang Tuhan kehendaki terhadap kita. Penderitaan selain sebagai sebuah latihan juga batu untuk tumpuan melompat jauh memaknai hidup, untuk itu ada dua hal yang perlu direnungkan dan ditindak lanjuti yaitu: “membiarkan Tuhan melakukan bagian-Nya untuk memprakarsai suatu hubungan yang lebih dekat dan akrab dengan kita, bagian kita adalah memilih bertindak dan melakukan dengan tepat sesuai dengan prakarsa Tuhan atas kita.”[73]  
            Oleh sebab itu bahwa kuasa Allah dinyatakan dalam penderitaan yang dialami seorang individu dan hal itu pula telah terbukti bagi pelayanan tokoh-tokoh dalam alkitab dan juga tokoh-tokoh diera sekarang. Kuasa anugerah Allah dinyatakan dalam perjalanan pelayanan Paulus dan dalam keadaan itu kuasa kasih karunia Allah sempurna. Dari semua itu, penyandang tunanetra dapat digiring memasuki tahun rahmat Tuhan yang penuh pengharapan (Lukas 4:19) dan memberi dorongan semangat atas keadaan fisik mereka dan meyakinkan bahwa dalam keterbatasan dan didalam kelemahanlah kuasa Allah sempurna (II. Korintus 12:9) di samping itu, dalam situasi apa pun Allah turut bekerja mendatangkan kebaikan dengan menghadirkan anugerah dan kemuliaan  Allah dalam hidup.










BAB V
KESIMPULAN

Dari  uraian yang telah dijelaskan pada setiap bab, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
            Ketunanetraan adalah penyimpangan yang signifikan dari keadaan normal yaitu dari “melihat menjadi tidak melihat”, dengan tidak berfungsinya penglihatan, seseorang akan kehilangan informasi 80% dan yang tertinggal adalah 20% yakni dengan fungsi panca indera yang masih ada. Ketunaneraan itu sendiri telah melahirkan pandangan negatif baik dalam diri tunanetra juga ditengah-tengah masyarakat. Hal tersebut disebabkan cara pandang yang salah, “tunanetra dan masyarakat memandang dari sudut ketunanetraan yang seharusnya harus dipandang dari sudut pandang hakekat kemanusiaan yang teologis dan religious.” Sekalipun mereka secara fisik cacat, tetapi mereka tetap menyandang “gelar gambar dan rupa Allah” Oleh sebab itu segala bentuk diskriminasi dan pengabaian haruslah dihapuskan dari kehidupan mereka.
            Dalam kenyataannya gambar diri tunanetra meliputi:
1.      Perspektif masyarakat yang dikategorikan atas dasar penilaian obyektifitas seperti:
a.       Penilaian tunanetra dari perspektif tunanetra, mereka mengasumsikan diri sebagai orang tidak berdaya, tidak dapat mandiri, obyek pencari derma dimasyarakat.
b.      Perspektif masyarakat, masyarakat memandang bahwa tunanetra adalah orang yang patut dibelas kasihani yang tidak bisa melakukan pekerjaan apapun dan masyarakat cenderung bersikap pesimis sehingga tidak mampu memperccayakan untuk melakukan sesuatu pekerjaan.
c.       Perspektif tehnologi, bahwa dari perspektif tehnologi bahwa tunanetra dilukiskan sebagai yang mengalami repolusi atas penemuan “perangkat pembaca lunak yaitu jaws yang memudahkan tunanetra mengakses banyak data-data yang dibutuhkan.” Oleh sebab itu bahwa tunanetra adalah orang yang dapat dikembangkan dimana mereka memiliki kemampuan yang harus digali dengan baik.
d.      Ketunanetraan perspektif penderitaan. Merupakan bahwa penderitaan diartikan sebagai alat berharga, sarana, sebagai ujian didalam diri tunanetra dan keluarga.
2.      Gambar Diri Perspektif Alkitab Dari sudut pandang Alkitab bahwa penyandang tunanetra menurut konsep alkitab meliputi, sebagai ciptaan Allah, sebagai orang yang berdosa, dan di dalamm anugerah Allah. Didalam anugerah Allah adalah:
a.       Pengenapan nubuatan berita Perjanjian Lama yang sudah digenapkan Yesus terhadap orang buta (Luk. 4:19)
b.      Yesus dengan hikmat sorgawi telah memulihkan orang yang buta pada fungsi hakekat manusia diciptakan (Kej. 1:26-27).
c.       Yesus sebagai manusia memandang orang buta sebagai sesama manusia, oleh karena itu Yesus memberikan pertolongan.
d.      Yesus tidak memandang kebutaan sebagai akibat dosa, tetapi Yesus memandang suatu yang baru yang tidak pernah dipikirkan oleh orang pada zaman Yesus yaitu “supaya pekerjaan Allah dinyatakan didalam dia.”
Gambar diri tunanetra merupakan gambar diri positif, hal ini dapat dijumpai
didalam aktifitas tunanetra dalam hidup yang meliputi pekerjaan, cita-cita dan keinginan, kemauan, dan kerja keras dan hubungan mereka dengan masyarakat. Beberapa hal tersebut telah tertuang dalam pembahasan bab III tesis ini.
Didalam prinsip dan strategi pengembangan gambar diri positif tunanetra adalah
suatu yang perlu dimaknai didasarkan pada, prinsip kebenaran Alkitab, dimana dalalm alkitab merupakan pedoman yang dapat dijadikan fondasi terhadap pengembanggan diri tunanetra. Sedang strategi yang digunakan terdapat didalam diri tunanetra itu sendiri yaitu kemampuan dan talenta yang ada pada mereka.
Untuk mengoptimalkan kemampuan tunanetra tersebut, maka mereka membutuhkan alat-alat bantu sehingga dapat mandiri.
Alat-alat bantu tersebut seperti:
1. Sebagai lembaga pendidikan kerohanian bagi tunanetra dan keluarga, dalam hal ini gereja harus berparadigma seperti pandangan Yesus.
2. Dengan paradigma yang baru tersebut, munculnya gerakan integrasi jemaat dengan penyandang tunanetra melayani dimasyarakat berdasarkan azas kesetaraan dan kesamaan. Dengan demikian diperlukan kemauan dari pihak gereja bergandengan tangan untuk misi Allah dalam penyelamatan dunia.
3. Gereja, Negara, dan masyarakat sudah saatnya meninjau ulang program-program yang tidak relefan lagi dengan era tehnologi sekarang serta meninjau aturan-aturan yang tidak cocok lagi, yang bisa menimbulkan masalah kemanusiaan, sehubungan dengan program-program tersebut hendaklah kongkrit, efesien dan real khususnya yang berhubungan dengan ketunanetraan.
4. Dalam pelayanan gereja yang universal, dengan kehadiran tunanetra yang terus menantang, oleh karena berbagai factor, maka gereja mengadakan pelayanan terpadu dengan sector-sektor pendidikan. Dengan pelayanan terpadu terhadap pendidikan akan memudahkan untuk bersekolah, dan sensus perlu dalm hal ini.
5. Keluarga yang tunanetra perlu mendapatkan pelayanan konseling untuk mampu menerima keadaan yang dialami dengan hikmat firman Allah, sehingga dapat bersikap, berpikir dan bertindak dengan positif.
6. Dengan kehadiran tunanetra sebagai sarjana teologi, merupakan peluang dan kesempatan baik meningkatkan pelayanan yang lebih efektif yaitu dengan pembentukan konselor tunanetra terhadap tunanetra lainnya..
7. Dari apa yang dilakukan Yesus terhadap orang buta, merupakan pandangan yang mengajar gereja-Nya terhadap pelayanan mentalitas,yang Gereja berikan terhadap orang buta apakah sebagai objek atau sebagai subjek.
8. Gereja,Negara,Pemerintah, juga lembaga-lembaga swata lainnya harus mampu melihat dengan benar dan objektif bahwa kuasa Allah dinyatakan diberbagai penderitaan. Hal tersebut perlu, agar apapun bila tiba-tiba dialami seseorang dapat dengan positif, aktif, kreatif, dinamis serta terdorong semangat yang stabil.
Kuasa Yesus yang adalah sebagai Tuhan dinyatakan pada mereka yang menderita khusus terhadap orang buta.












[1] Selsius Purba,Penggembalaan Kepada Tunanetra, SKRIPSI (Medan:ITA Bandar Baru,1995)
[2] Simson Tarigan,Orientasi Mobilitas, (Bandung:IKIP,1985),12-13
[3]Sudarmono, Psikologi dan Pandangannya Terhadap Ketunanetraan, (Yogyakarta : Sekolah Guru Pendidikan Luar Biasa,1987), 89.
[4] Gary R.Coolins, Konseling Kristen Yang Efektif, (Malang : Seminar AlkitabAsia tenggara, 1990), 714
[5]Petrus Pardede, Tanggung Jawab Manusia Sebagai Imago Dei, Maj. IMMANUEL, vol:112, no.7 (Tapanuli  Utara: HKBP 2002), 31-34.
[6] Gary R Coolins, 7.
[7] Dr. Ir. Fu Xie dan Ir. Jarot Wijarnoko, Self ImageCitra Diri,(Jakarta: Suara Pemulihan) hal. 6-9.
[8] Timotius Adi Tan WhoAm I,(Jakarta: Metanoia, 2006) Hal.6-7.
[9] by J. Hantton Keathley, III W download Woard doc.
[10] Ingrid Listiati-www.katolisitas.org internet.
[11] J.Wesley. Brill, dasar yang teguh, (Bandung :Yayasan Kalam kudus ) Hal. 180-182.
[12] W. Stanley Heath, Tafsiran Kitab Kejadian Pasal 1-11, Relevansinya Dengan Pemulihan Gereja di Akhir Zaman (Yogyakarta: Yayasan  Andi tahun 1998), hal. 48-49.
[13] Rev. Yune Sun Park, Th. M, D. D, tafsiran kitab Kejadian ,(Batu,Jawa Timur:Departemen Literatur YPPII , 2002) hal. 16
[14] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid 2, (Jakarta: Yayasan Kominikasi Bina Kasih OMF, 1999),Hal. 24
[15] Henry C. Thiessen, Teologi  Sistimatika, (Malang: Gandum Mas ,1992), Hal. 237-238.
[16] Donald Guthrie, Allah, Manusia, Kristus Teologi Perjanjian Baru, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996) Hal. 151-152.
[17] Anthony A. Hoekema, Manusia: Ciptaan menurut gambar Allah (Surabaya: Momentum 2003) hal. 9.
[18] J. Wesley Brill, hal. 186-187.
[19] Ensiklopedi Alkitab  Masa Kini Jilid 2 Hal. 24.
[20] Donald Guthrie, Hal. 208-209.
[21] Arthur W. Pink, Tapsiran Injil Yohanes,(Surabaya: Yakin) Hal. 185.
[22] Ensiklopedi Alkitab Masa Kini Jilid 2 Hal. 25.
[23] Donald Guthrie, hal 151
[24] J. Wesley Brill, Hal. 98-99.
[25] Dave Hagelberg Tapsiran Injil Yohanes , (Yogyakarta: Yayasan Andi 2001) Hal. 120.
[26] Anthony A. Hoekema, Hal. 112-114.
[27] Arman Barus Ph.D. Jurnal Teologi Stulos (Desember 2005) Hal. 42.
[28] Dr. Hj. Nurdiati akma, Seminar Yayasan Mitra Netra  31 Oktober, 2000.
[29] Blok Karya Tunanetra, oleh Saputra, 29 Juni 2008
[30] Didi Tarsidi/Orange, Konseling Populasi Khusus, 05 Juli 2007
[31] John Maxwell, Mentoring Tim Elmore (Jakarta: Metanoia, 2007), Hal 6

[32] Kompas Cyber Media, 2 November , 2006
[33] Joni Purba, Wawancara,(Jakarta : 20 Januari 2010)
[34] Md. Irawan, wawancara, (Jakarta: 29 Maret 2010)
[35] Stenley, Wawancara, (Jakarta: 29 Maret 2010)
[36] Stenley, Wawancara, (Jakarta: 30 Maret 2010)
[37] Romel sitompul: Wawancara, (Jakarta: 29 Juli 2009)
[38] Md. Irawan, Wawancara, (Jakarta: 13 Auguus 2009)
[39] Suparlin Gultom, Wawancara, (Jakarta: 13 Augustus 2009)
[40] Efraim, Wawancara, (Jakarta: 20 Januari 2010)
[41] Hanny J. Ratu, Wawancara, (Jakarta: 23 Februari 2010)
[42] Haris, wawancara, (Jakarta: 18 Februari 2010)
[43] Hanny J. Ratu, Wawancara, (Jakarta: 25 Februari 2010)
[44] Joni Purba, wawancara, (Jakarta: 20 Januari 2010)
[45] Haris, Wawancara, (Jakarta: 23 Februari 2010) dan Hanny J. Ratu, Wawancara, (Jakarta : 25 Februari 2010)


[46] Efraim, wawancara, (Jakarta: 20 Januari 2010)
[47] Efraim, Wawancara, (Jakarta: 1 Maret 2010)
[48] Hanny J. Ratu, Wawancara, (Jakarta: 28 Februari 2010)
[49] Md. Irawan, Wawancara, (Jakarta : 1 April 2010)
[50] Md. Irawan, Wawancara, (Jakarta: 1 April 2010)
[51]Stenley, Wawancara, (Jakarta: 13 April 2010)

[52] Stenley, Wawancara, (Jakarta: 12 April 2010)
[53] Md. Irawan, Wawancara, (Jakarta: 13 Augustus 2009)
[54] Selsius Purba, Penggembalaan Kepada Tunanetra, Sikripsi (Medan: Ita Bandar Baru, 1995) 43
[55] Didi Tarsidi, memahami Perkembangan Kepribadian Tunanetra Melalui Tiori Kepribadian Sosial Learning dari Bandura, (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia )
[56] Simson Tarigan, Oriantasi mobilitas , (Bandung: IKIP1985)14
[57] Pdt. B. Raja Gukguk, wawancara, Medan: 1 Februari 2010)
[58] Arman Barus PH.D. Jurnal Lensa, (Cipanas: Edisi No. 3 tahun 3, 2009) 20-21
[59] Anthony A. Hoekema, manusia: Ciptaan menurut gambar Allah, (Surabaya: Momentum 2003) 116
[60] Suratim, wawancara, (Bogor: 25 Juli 2009)
[61] Linda Hutagalung, wawancara, (Jakarta: 4 Juli 2009)
[62] Joyce Meyer, Pemimpin Yang Sedang diBentuk, (Jakarta: yayasan Pekabran Injil Imanuel cetakan pertama, 2002) hal. 12-13.
[63] Dr. J.I.Ch. Abineno, Pelayanan Pastoral Kepada Orang-orang Sakit, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia 1997) Hal. 39
[64] Donita dyer, srikandi iman, (Jakarta: Yayasan Kominikasi bina Kasih /OMf, 1985) Hal 
   38 -51     .
[65] Kompas Cyber Media, 2 Nofember 2006
[66] Dr. JI.Ch. Abineno, Percakapan Pastoral dalam Praktek, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1982) Hal. 59
[67] Suratim, Wawancara, (Bogor: 25 Juli 2009)
[68] Mitra-Netra.or.id
[69] Dr. Larry Crabb & Dr. Dan Allender, dorongan Semangat, (Jakarta:Nafiri Gabriel, 2001) Hal. 119-120
[70] Yayasan Komunikasi Bina kasih /OMF, Tapsiran Alkitab Masa Kini 3, (Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1992) Hal. 298.
[71] Matthew Henry, Tapsiran Injil Markus, ( Surabaya: Momentum, 2007) , Hal 240-243
[72] Wong Kim Kong, Hidup Dan Memimpin Dengan Keterbatasan, (Jakarta: Metanoia, Juli 2009) Hal.165-167
[73] Charles Stanley, Menyembuhkan Luka-luka Batin, (Yogyakarta: Andi, 2007) Hal. 324.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Grace Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates